Langsung ke konten utama

Everybody's Dive!

Kalau ada pertanyaan, 'timnas sepakbola mana yang paling suka diving?', gue berani bertaruh sebagian besar penggemar bola bakal njawab 'italia'. gak gitu sulit untuk nyari alasannya, mereka pasti udah pernah nonton Italia -meski cuman sekali.

Memang sih kadang sering diving jadi sisi negatif yang nggak terpisahkan dari permainan Italia. kalau ditanya kenapa, jelas gue gak tau persis jawabannya. tetapi sebagai penggemar timnas itu sejak lama *12 tahun tepatnya* kelakuan mereka nggak terlepas dari kondisi liganya mereka.

di sana, gampang banget buat para pemain buat ngeboongin wasit. terlepas dari wasit tau mereka berakting tapi nggak mau ngasih hukuman -karena banyak kasus mereka disuap- pemain jadi terbiasa dan manja. mangkanya waktu skandal suap terkuak, itu sebetulnya jadi shock therapy yang bagus buat para pemain, klub atau para petinggi sepakbola italia yang memang harus dirombak abis-abisan.

tapi apa iya sih timnas Italia doang yang tukang diving? dari pencarian di google, gue mendapati beberapa orang di dunia ini gak sependapat.

"My favorite counterexample of a player that did just this thing all the time is Rivaldo. There was that time where he took a shot in the leg, and then after a bit of a delay, he acted as though someone had plunged steel needles into his eyes" (psmealy, sportfilter).

"... (Thierry) Henry fell to the ground clutching his face after Carlos Puyol lightly brushed his shoulder going for the ball. That free kick led to the winning goal from Les Bleus. Made me want to punch the cheating little shit in the head" (afx237vi, sportsfilter).


See... a so called best player in the world like Rivaldo dan Henry also did that! Dan yang lebih mengejutkan Presiden FIFA, otoritas sepakbola tertinggi dunia, Sepp Blatter juga pernah tuh nglakuin diving waktu masih main sepakbola. Bahkan gini katanya dalam artikel
Blatter says he used to dive when he played:

"I think that all players -- especially attacking players -- they do it because you go into the 18-yard area and then you lose the ball because somebody takes it away," said Blatter. "You are frustrated, and then in the frustration you do two things, either you try to get the ball back and then you commit a foul or you say 'but he touched me,' and then you fall down.

"I think this is a normal movement and I can understand the players acting like that. But now they are at the level of the World Cup and they are the professionals, so they should think about that, but it's in the game."

See.... then who do u call a diver??!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...