Langsung ke konten utama

Konser Yang Lain: My Chemical Romance

Gue dapet tiket gratisan nonton konser My Chemical Romance, Kamis (31/1/2008). Supaya enggak bego-bego banget, apalagi gue harus nemenin pemenang kuis detikforum di konser tersebut, mulailah gue browsing di internet guna mencari tahu mahluk apakah itu MCR. Selain itu gue juga nyari referensi dari adik gue yang, ternyata, punya album pertamanya band asal New Jersey itu.

 

Dari satu album, gue sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa MCR adalah band jaman sekarang yang menjual musik yang memekakkan telinga dan tampang2 keren personilnya. Musiknya memang rock yang kenceng. Sedikit mengingatkan gue dengan Greenday jaman album Dookie, walau liriknya lebih vulgar mengutuk kehidupan.

 

Secara terakhir gue nonton konser kerennya Muse, maka di kepala ini mindset gue pun udah ke Matt Bellamy cs. Apalagi harga tiket festival-nya setali tiga uang. Tapi sejak menginjakkan kaki di dalem lokasi konser gue dah punya feeling konsernya gak bakal menyamai Muse. Herannya, tuw konser tiketnya sold-out. Seorang mahasiswa, temannya pemenang kuis detikforum yang beruntung gue kasih tiket sisa secara cuma-cuma, juga ngakuin kalo di calo aja tiket udah abis!

 

Well, mari kembali ke konsernya. Harus gue akui walau dua harian dengerin satu albumnya gue tetep gak mudheng sama lagu2 MCR. Lagu pertama bengong, kedua masih bengong, baru di lagu ketiga vokalisnya, Gerrard Way, nyanyiin lagu yang familiar: I’m Not Okay. Lumayan komat-kamit, lah ini mulut.

 

Di pertengahan konser, gue dibuat kaget ngedenger salah satu lagu mereka yang, kata vokalisnya, tidak masuk ke album2 mereka karena tidak ada tempat. Judulnya Kill All Your Friend. Parah!

 

Herannya walaupun secara lirik sangat “gelap”, tapi banyak bener ABG yang datang ke JCC Plenary Hall malam itu. Waktu gue lagi makan malam gue sempat ngobrol2 sama seorang ibu yang rela antar-jemput anaknya yang baru kelas 2 SMP ke Senayan. Itu cuman satu contoh, karena malam itu ABG2 yang berseliweran bener2 nggak keitung dengan jari. I wonder, tuw ibu dan pengantar2 lainnya, tau nggak, ya, musik dan band model apa yang digandrungi anak2nya?!

 

Anyway, walaupun gak begitu sreg secara musik, tapi harus gue akui stage act-nya MCR lumayan. Tidak mengecewakan. Semua personel main maksimal, walaupun vokalisnya tetep paling menonjol. Staminanya oke, ditandai dengan nggak ada seret2nya dia nyanyi walaupun harus teriak2 sepanjang pertunjukan.

 

Dan lighting-nya keren. Paling tidak terlupakan di lagu Cancer, salah satu lagu yang cukup ramah di telinga ini. Gerrard seperti “dewa” akibat efek lampu yang menyorot sosoknya dari lantai panggung. Very-very nice.

 

Sayang, secara gue nonton dari area festival belakang, gue liat stage act mereka kurang mendapatkan feed back dari penonton. Untuk sebuah tontonan dimana vokalisnya udah maksimal, penontonnya menurut gue rada “dingin”. Heboh kalo lagu yang familiar doang. Kayaknya cuma sebagian kecil doang yang bener2 fanatik sama band ini.

 

Dari 21 lagu yang dibawain MCR malam itu, total, gue cuma familiar dengan tiga lagu (doang). Selain I’m Not Okay, ada lagi Helena dan Welcome to the Black Parade. Selebihnya, clueless. Cancer pun baru gue tahu setelah bertanya ke teman sehari setelah konser tersebut. Kalo nggak gratisan, hampir mustahil gue tonton itu band.

 

Maka kalau gue harus memberi rating, konser MCR cukup dengan rating tiga bintang saja, walau kata penggemar berat MCR, “500 ribu worthed, kok”. Yah, selera orang memang beda2, ya....

Komentar

  1. asiknya....dapet tiket gratisan.....>_<

    BalasHapus
  2. lo masih ada yang masuk 3 lagu
    gw ga tau menahu tentang itu
    n kalo gw dapet tiket pasti tak jual ke caloooo

    heheheheheeee

    BalasHapus
  3. tapi, asik kan bisa nonton gratisan, hehehhe

    BalasHapus
  4. @ indocalita dan eka: ho oh, mayan...
    @ dmo: hehehe, gak tega jual ke calo, mendingan gue kasih cuma2 deh ke orang yang butuh banget

    BalasHapus
  5. masa bandingin MCR ama Muse ? hehehe..jelas jauh banget donk...
    Muse is the best...!!! :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...