Langsung ke konten utama

Rocking Concert: Coldplay

How do you define a rocking concert? Coldplay concert in Singapore Indoor Stadium, March 23 2009, definitely rocks! Big time! But why it rocks? You got to read the whole story.

Konser Chris Martin cs di Singapura dimulai dengan penampilan opening act yang boleh dibilang Coldplay banget cuma dalam versi yang sangat lebai. Mari membayangkan vokalisnya. Seorang cowok berkemeja ketat dan celana jeans berwarna merah menyanyikan lagu-lagu patah hati dengan visualisasi berlebihan. Dia menjadi burung, di waktu lirik lagunya bercerita tentang terbang. Kurang lebai? Di lagu lain dia membusungkan dadanya dan memamerkan otot-ototnya, tepat di lirik yang menyebut kata “strong”. I can’t stop laughing, but thanks God his voice was okay.

Anyway, let’s cut the crap. Coldplay memulai konsernya dengan sebuah lagu dari album baru terbarunya. Jujur, pada waktu itu gue nggak tahu judulnya tapi cukup kaget mendengar Chris Martin cs ternyata bisa Amerika banget karena lagu itu di kuping gue terdengar seperti soundtrack film koboi.

Lagu-lagu berikut yang meluncur dari bibir Chris jauh lebih familiar. Dan istimewanya mereka selalu menambahkan gimmick di setiap lagu yang dibawakan. Seperti pada lagu “Yellow”, serta-merta puluhan balon berwarna kuning yang berisi confetti berhamburan dari atap stadion. Mengejutkan, walau gue jadi agak sedikit kesal karena para penonton malah heboh dengan keberadaan balon-balon itu ketimbang konsentrasi dengan suara sang vokalis di lagu hits dari album perdana band asal Inggris ini.

Gimmick menarik berikutnya muncul ketika Coldplay membawakan lagu “God Put a Smile Upon You Face”. Tampil berempat di tengah panggung, mereka membawakan lagu itu dengan acapella. Di beberapa lagu, giliran permainan laser, lampu panggung, bola-bola lampu raksasa dan permainan gambar di backdrop konser yang memukau.

Dan gue nggak berhenti terpukau sepanjang hampir 3 jam konser (!) Apalagi Coldplay seperti doyan membuat kejutan-kejutan. Di tengah pertunjukan tiba-tiba saja mereka turun dari panggung dan mengejutkan para penonton di salah satu tribun dengan tampil secara acapella dari sana. Damn, they’re so lucky. Ada dua lagu yang dinyanyikan Chris (“Speed of Sound” dan satu lagu soundtrack Shrek 1 yang sumpah gue lupa judulnya) dan satu lagu oleh drummer mereka, Will Champion, yang ternyata bersuara sangat lembut. Dan di balik penampilannya yang kerap “mengharukan”, Chris ternyata kocak, ya. Beberapa kali dia terlihat mengganggu Jonny Buckland, sang gitaris yang pendiam. Will juga kayaknya nyanyi karena terpaksa, deh. Di lain kesempatan dia kerap membuat mimik2 lucu atau nyengir jahil. Sepertinya cuma si ganteng Guy Berryman yang luput dari kejahilan papa-nya Apple ini.

Menutup segmen di tribun, Chris meminta seluruh penonton yang memadati SIS untuk melakukan suatu gerakan yang disebutnya sebagai Coldwave. “It’s never been done in our concert before,” kata suami Gwyneth Paltrow ini. Jadi, coldwave ini adalah bentuk lain mexican wave yang biasa diperagain penonton sepakbola namun dilakukan sambil menggunakan handphone yang dinyalakan. Karena dilakukan di dalam stadion yang digelapkan, efeknya lumayan seru.

Abis pertunjukan di tribun, Coldplay kembali ke atas panggung dan menyanyikan beberapa lagu dengan gimmick yang lain lagi. Yang menurut gue paling menarik adalah saat mereka membawakan lagu “Lovers in Japan”. Pada backdrop ditampilkan potongan-potongan gambar kehidupan di Jepang –orang menulis haiku, musim gugur, perempuan berkimono, bunga sakura. Puncaknya, dari atap stadion berhamburan confetti berwujud kupu-kupu berwarna-warni yang cantik. And I instantly in love with the song.

Pada encore, band pemenang empat piala di Grammy terakhir itu diantaranya membawakan “The Scientist” dan “Viva La Vida” yang ciamik seperti lainnya. Gila juga, ih, staminanya. Setelah itu konser benar-benar berakhir dengan backdrop itu menampilkan tulisan V I V A. Yeah, viva Coldplay!

Jika konser Muse memukau gue karena aksi panggungnya, maka konser ini komplit segala-galanya. Warga Singapura benar-benar beruntung. Lucunya, gue malah lebih banyak melihat bule dan penonton yang berbahasa Indonesia di sana-sini. Wew! Mudah-mudahan Coldplay mau mampir ke Indonesia suatu hari nanti. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...