Langsung ke konten utama

Demi Semangkuk Bubur

Empat minggu terakhir ini gue lagi mood berolahraga. Ringan2 aja sih. Seperti lari (mungkin lebih banyak jalannya :p) beberapa kilometer di lingkungan rumah.

Nah, salah satu tujuan lari gue adalah sebuah kompleks yang kalau hari Minggu gini menggelar pasar kaget. Ya, kayak di Senayan gitu deh. Selain olahraga dan cuci mata, gue juga doyan makan bubur ayam yang dijual salah satu lapak dagangan di sana.

Bubur ayam P, sebut aja begitu, termasuk dagangan paling laris manis. Pokoknya sepanjang pagi itu, tu bubur gag pernah sepi antrian. Selain karena emang murah dan lumayan enak (dibandingin lapak lain yang ada di sana), mungkin juga karena bude dan pakde yang jualan lumayan kooperatif orangnya. Walau pembelinya banyak maunya (gag pake ini itu, yang ini sedikit aja, yang itu dipisah, dst) dan demen serobotan!

Ngomongin serobotan, hari ini gue mendapatkan pengalaman menyebalkan nih. Jadi seperti biasa abis lari pagi itu gue mesen satu mangkuk bubur. Yang diminta gag aneh2, cuman nggak pake kacang aja. Gue tunggu semenit, bude yang nglayanin tampak lumayan kerepotan. Maklum hari ini dia cuma berdua doang sama pakde. Ya udah gue sabar. Nungguin dia ngepakin pesanan bawa dan pesanan di tempat.

Lima menit, gue mulai agak jutek. Maklum, sepanjang lima menit itu, silih berganti orang nyerobot. Ada yang mesan bawa pulang, ada yang nagih, ada yang mo bayar. Riweuh! Di tengah keriweuhan, eeeh, muncul seorang nenek yang bikin gue tambah senewen.

So, dia baru aja selesai makan bubur bareng anak cucunya, trus setelah habis porsinya dengan seenaknya minta dibuatkan dua porsi untuk dibawa pulang dengan nada nggak sabaran. "Saya pesan 2 buat dibawa pulang, buruan ya".

Bah, kenal kata ngantri gag sih ini nenek-nenek? Si bude dan pakde tampak nyuekin dia pada awalnya, tapi karena dia terus2an ngomel dengan menekankan bahwa dia udah makan di tempat udah bayar yang dia makan, pesenannya dibikinin juga (yang artinya dia kembali melewatkan gue dan beberapa orang yang sebelumnya ngantri juga).

Alis gue tambah berkerut ketika dia kembali menyerobot seorang cewek ABG yang mesen tiga porsi dari tadi. Waktu bude ngambil plastik penampung (yang gue yakin buat pesanan ABG) dengan seenaknya dia ngerebut plastik itu dan masukin pesanannya. Trus nyodorin uangnya buat bayar. Ckckck, gue sama si bude ampe liat2an, lho.

Kayaknya baru kali ini gue ngrasa nggak respek sama orang tua. Dan mungkin karena usia, nggak ada yang berani negur nenek penyerobot. Termasuk gue yang cuma bisa ngeluh dalam hati. Untungnya ABG yang diserobot itu nggak senewen dan keliatan biasa aja. Beberapa anak muda yang belum mendapatkan pesanannya juga keliatan lumayan sabar. Gue? karena berkali2 diserobot akhirnya gue pun nggak sabaran. Yang penting bubur gue nyampe di tangan. Udah laper, tau!

But, toh pada waktu bayar gue kembali mengikuti prosedur dengan sabar (baca: antri). Sementara pakde dan bude yang ulet itu masih berjuang dengan dagangan dan pembelinya. Semuanya demi semangkuk bubur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...