Kata orang, perempuan dianugerahi bakat alami yang disebut MENAWAR. Bahkan kata teman (perempuan), beli barang nggak nawar rasanya seperti makan sayur nggak pake garam. Membeli barang dengan harga hasil nawar juga katanya memiliki kepuasan tersendiri jika dibandingkan dengan beli harga pas. Nggak percaya? Tanya aja ke toko sebelah :-D.
Sayangnya nggak semua perempuan dianugerahi bakat tersebut. Contohnya gue. Gue adalah perempuan yang nggak bisa nawar!
Jadi malam itu gue iseng cuci mata di sebuah mall yang banyak menjual barang grosir. Setelah melihat-lihat beberapa toko, gue memutuskan mampir ke satu toko yang sedang lumayan ramai pengunjungnya. Eh, ada atasan lucu nih. Nanyalah gue harganya berapa. Berikut secuplik percakapannya:
Gue: Berapa nih, mbak?
Mbak E: 125 ribu. Boleh ditawar
Gue: Hmm... (yang kepikiran "ikuti pakem menawar yang baku, tawar 50% persen. Tapi barang sebagus ini nggak mungkin dilepas 70 ribu. Naikin dikit deh" *mikirnya kepanjangan ya).
Gue: (Akhirnya ngomong) 80 ribu ya?
Mbak E: Belum bisa, mbak. Paling murah 100 ribu. Naikin lagi deh.
Gue: kemahalan. Saya naikin deh, 85 ribu ya.
Mbak E: Aduh, masih belum bisa, ini model baru lho. Naikin lagi, mbak.
Gue: Ya udah, 95 ribu ya.
Mbak E: (Nanya ke yang punya toko di pojokan sambil memperlihatkan baju gue). Ini 95 ribu gimana, Uda?
Si Uda: (Menangguk)
Mbak E: Iya mbak, boleh.
Dang! bodoh banget ya! Kan setelah nawar terakhir 85 ribu, harusnya gue naikinnya maksimal 90 ribu? Kenapa jadi 95 ribuuu! Deuuuh, kesel gue. Walau atasan lucu itu masuk kantong belanjaan, tapi nggak berhasil nawar deh gue hari itu :-(
Begitulah. Sedikit alasan kenapa gue sebetulnya lebih senang belanja di toko yang mencantumkan harga pas atau departemen store sekalian. Apalagi kalau yang dijual barangnya benar-benar gue suka. Biasanya malah nggak pake ditawar lagi *lebayyy. Sebaliknya, kalau barangnya biasa aja (dapet syukur, nggak dapet nggak apa-apa), kadang gue nawar secara sadis sekalian. Dan gue nggak akan berjuang ngdapetinnya.
Bukan kali itu saja sebetulnya gue gagal nawar. Tapi karena kebanyakan udah lupa, nggak akan gue ceritain lagi. Gue emang nggak bisa nawar.
Sayangnya nggak semua perempuan dianugerahi bakat tersebut. Contohnya gue. Gue adalah perempuan yang nggak bisa nawar!
Jadi malam itu gue iseng cuci mata di sebuah mall yang banyak menjual barang grosir. Setelah melihat-lihat beberapa toko, gue memutuskan mampir ke satu toko yang sedang lumayan ramai pengunjungnya. Eh, ada atasan lucu nih. Nanyalah gue harganya berapa. Berikut secuplik percakapannya:
Gue: Berapa nih, mbak?
Mbak E: 125 ribu. Boleh ditawar
Gue: Hmm... (yang kepikiran "ikuti pakem menawar yang baku, tawar 50% persen. Tapi barang sebagus ini nggak mungkin dilepas 70 ribu. Naikin dikit deh" *mikirnya kepanjangan ya).
Gue: (Akhirnya ngomong) 80 ribu ya?
Mbak E: Belum bisa, mbak. Paling murah 100 ribu. Naikin lagi deh.
Gue: kemahalan. Saya naikin deh, 85 ribu ya.
Mbak E: Aduh, masih belum bisa, ini model baru lho. Naikin lagi, mbak.
Gue: Ya udah, 95 ribu ya.
Mbak E: (Nanya ke yang punya toko di pojokan sambil memperlihatkan baju gue). Ini 95 ribu gimana, Uda?
Si Uda: (Menangguk)
Mbak E: Iya mbak, boleh.
Dang! bodoh banget ya! Kan setelah nawar terakhir 85 ribu, harusnya gue naikinnya maksimal 90 ribu? Kenapa jadi 95 ribuuu! Deuuuh, kesel gue. Walau atasan lucu itu masuk kantong belanjaan, tapi nggak berhasil nawar deh gue hari itu :-(
Begitulah. Sedikit alasan kenapa gue sebetulnya lebih senang belanja di toko yang mencantumkan harga pas atau departemen store sekalian. Apalagi kalau yang dijual barangnya benar-benar gue suka. Biasanya malah nggak pake ditawar lagi *lebayyy. Sebaliknya, kalau barangnya biasa aja (dapet syukur, nggak dapet nggak apa-apa), kadang gue nawar secara sadis sekalian. Dan gue nggak akan berjuang ngdapetinnya.
Bukan kali itu saja sebetulnya gue gagal nawar. Tapi karena kebanyakan udah lupa, nggak akan gue ceritain lagi. Gue emang nggak bisa nawar.
Komentar
Posting Komentar