Langsung ke konten utama

Cerita Kulineran di Solo

Ketika lo sedang merasa jenuh dengan pekerjaan, apa yang lo lakukan? Mencari pelarian tentu saja. Kalau untuk gue pelariannya nggak lain dan nggak bukan adalah pergi berlibur.

Tapi secara kantong sedang cekak, gue harus memutar otak untuk mencari pelarian yang murah meriah namun menyenangkan. Pilihannya tentu saja mengunjungi kota dimana gue punya kerabat atau teman. That goes to Solo. Tanggal yang dipilih 16-18 Agustus yang lalu. Iya, ini kisah lama yang baru sempat gue tuturkan. Hehehe. 

Kebetulan, gue telah mendapatkan teman seperjalanan. Kebetulan lagi, teman kita, Donny, berencana pulang kampung setelah kembali dari sekolah di Australia. Asyik, gue kan belum pernah ke Solo.

Oleh karena itu, masih dengan semangat kantong cekak, gue pun menyanggupi ketika Ikhwan, mengajak berangkat naik kereta kelas bisnis. Lagi long weekend, kehabisan tiket, siapa sangka keberuntungan berpihak sama kita.

Seorang pria separuh baya tiba-tiba menawarkan tiket kereta yang kelebihan karena salah seorang rekannya membatalkan perjalanan. Mana ditawari dengan harga tidak berlebih. Cuma satu kursi memang, tapi cukup buat kita karena Ikhwan bersedia membeli tiket berdiri!

Di atas kereta, Ikhwan menemukan keberuntungannya sendiri. Secara kebetulan doi berdiri dekat kursi kosong melompong Ditunggu sampai Cikampek masih belum bertuan juga itu kursi. Di sini sang “dewi foruna” mucul. Di antara orang2 yang sama2 berdiri nggak ada yang mengklaim itu kursi. Boro2 direbutin. Alhasil, dengan modal tiket berdiri, Ikhwan juga bisa tidur pulas sampai Jogja. Hehe, we're so lucky, huh!

Begitu nyampe di Jogja, kami pun segera janjian sama Shelly yang sedang diklat CPNS di Kota Gudeg. Kali ini memanfaatkan jaringan perkantoran :P, gue mampir dulu ke Baciro sekedar untuk numpang mandi dan numpang naruh barang. Hehe, next time mampir bawa “buah tangan”, deh.

Anyway, karena sudah lumayan sering ke Jogja, seusai sarapan di Yu’ Mi kami pun memilih beranjak ke Gembira Loka –objek wisata terakhir di kota Gudeg yang belum gue jajaki. Senangnya ide gue didukung oleh Ikhwan dan Shelly dengan antusias. Mereka memang teman2 yang baik. Hehe.

Setelah mengunjungi area seluas lebih dua hektar hingga lumayan bikin kaki ini pegal, kami pun segera mencari makan siang. Dasar turis lokal yang kurang tahu jalan, kami pun end-up di SS! Hehe ampun, deh, jodoh banget gue sama tuw rumah makan. Tapi nggak tahu deh dengan Ikhwan dan Shelly, yang kayaknya sih tobat nyobain sambal terasi SS yang super pedas.

Abis maksi, Ikhwan mengajak kami mengunjungi Mario –temannya yang kami kenal juga—ke tokonya di daerah Kartodipuran. Sampai sore kami di situ dan baru ngacir dengan perut kenyang diisi waffle dan ice cappuccino setelah Donny mengabarkan kedatangannya di Jogja.

Ketemuan sama Donny di Mall Malioboro, kami pun menuju detik2 perpisahan dengan Shelly. Tapi sebelumnya doi dan Donny nggak tahan untuk nggak nyicip J-Co. Jah, old habit indeed hard to die :P.

Eng, ing, eng, it’s time to say goodbye to Shelly. Kami pun beranjak ke Stasiun Tugu dan menunggu kereta “bermerk” Prameks menuju Solo. Keknya sejam perjalanan saja dan kami pun disambut angin malam Stasiun Purwosari.

Ini dia bagian tak terlupakan di Solo. Ditraktir ketupat opor, tapi terus diajak marathon kiloan meter dari Purwosari ke restoran/motel/rumahnya di daerah Hasanuddin. Kampret, kami dikerjain Donny! Shi Jack susu murni pun nggak bisa menghilangkan kepegalan gue sesampainya di kamar.

Tapi lupakan marathon tadi malam. Paginya gue udah ceria lagi saat diajak Donny berjalan kaki ke Stadion Manahan. Kalo yang ini beneran olahraga karena Manahan di Minggu pagi sama seperti Senayan yang hiruk pikuk dengan orang berolahraga. Tapi kalo kami sih yang olahraga mulut alis makan! Hehe mulai dari nasi liwet, cabuk rambak, kue lekker, sampe tempe goreng jenis yang baru kali ini gue makan (namanya gue lupa) nggak lupa gue cicipin. Jah, inilah seninya berlibur sama teman yang doyan makan.

Sehabis sarapan, masih tanpa Ikhwan yang “ada urusan”, gue dan keluarga Donny (yang terdiri dari, catet, nyokapnya, bude, pakde dan sepupunya) beranjak ke keraton kasunanan. Dari kunjungan ini gue baru “ngeh” sama yang namanya sejarah keraton Jogja, kasunanan Solo, dan pura mangkunegaran. Yang begini bikin gue cinta wisata bangunan bersejarah.

Setelah puas ngider di keraton kasunanan, gue dan Donny (tanpa keluarga doi yang keknya mau wisata kuliner) melanjutkan perjalanan ke Benteng Trade Center yang terletak di luar wilayah keraton. Yes, you guess right, kita ke mall a la ITC. Ngapain di sana? Ngapain lagi kalau nggak ngider nyari yang bisa dibeli. Batik beragam rupa sepanjang mata memandang. Dan gue end-up beli oleh2 sederhana buat ayah di rumah—Ibu ntar aja, deh. Sementara buat gue sendiri belakangan (yah, masih dengan semangat kantong cekak :P).

Pada jam maksi kita ketemuan dengan Ikhwan, yang membawa “temannya” ngider bersama kami. Beli lapis Surabaya di Orion, dilanjutkan makan siang ayam bakar di sekitar Slamet Riyadi—katanya yang enak sih bebeknya, sayang special order-nya udah habis. Yasud, mau kemana lagi, neh?

Wisata bangunan bersejarah lagi, nyok! Tadinya mau ke pura mangkunegaran, tapi mundur setelah melihat sepinya tuw objek wisata. Next time aja, deh! Akhirnya end-up ke Museum Pers –yang sedang ada pameran bertema kemerdekaan—dan Karisma Solo Grand Mall! Hehe, akhirnya buku juga yang nemenin gue berlibur. Tapi sebentar doang karena malamnya giliran wisata kuliner lagi!

Seumur2, baru kali ini gue makan malam sebanyak itu. Diawali dengan opor ceker yang “mak, enak banget” di festival jajanan di depan BTC, dilanjutin dengan timlo yang “enak juga”, dan susu murni favorit orang Solo di penghujung malam. Ni kota memang surga makanan enak!

Tapi nggak tau apakah karena makan kebanyakan tadi malam atau karena kecapekan, hari terakhir di Solo gue tepar!

Iya, setelah sarapan gudeg ceker (tanpa ceker karena dah keabisan), perjalanan melihat Bengawan Solo, UNS (ini tujuannya apa nggak jelas blas cuma ngetes baca peta :P), Taman Sriwedari yang gagal (baca: belum buka), Museum Radya Pustaka yang gagal (baca: tutup) dan BTC untuk pencarian batik terakhir buat Ibu, gue terpaksa dibalikin ke kamar sementara mereka jalan2 sendiri. Gagal deh nglanjutin wisata kuliner dan perjalanan ngliat fosil di Sangiran.

Hehe, kalau kata Donny penyebab teparnya gue karena nggak cocok wisata batik. Maybe, Don, besok2 jangan lagi, deh, mendingan museum atau wisata alam aja :P

Setelah agak mendingan, ternyata saatnya gue dan Ikhwan kembali ke Jakarta tiba. Senin sore itu pelarian sejenak kami berakhir. Dan gue bersiap menghadapi dunia kerja yang menyebalkan. Thanks a lot buat Donny dan keluarga karena sudah menjadi tuan rumah yang baik. Next, kita jalan2 lagi, ya, guys!

*** Ikiiii, foto2nya manaaa?? huhuhu udah launching neh ceritanya ***

Komentar

  1. agustus, september, oktoberrrrr

    udah laper lagi donkkkkkkkkkkk
    hehehehhehehee

    BalasHapus
  2. udah tuh, dijadiin aja jalan-jalan akhir taunnya. tapi, kali ini (sekali lagi) gw absen ya, mel :)

    BalasHapus
  3. hehehe seperti biasaaa, ceritanya telat :p

    BalasHapus
  4. hehe gue dah bilang 'atur aja ke putri', kali ini gue ogah jadi eo :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...