Langsung ke konten utama

4 Hari 3 Provinsi

Akhir tahun 2006 menjadi akhir tahun paling melelahkan dalam tiga tahun terakhir ini. Gimana enggak? Nih, perbandingannya.

Tahun 2005 akhir tahun gue habiskan di Anyer. Pergi tanggal 31 Desember siang, dan pulang tanggal 1 Januari malam. Tahun 2004, bahkan lebih singkat lagi. Ketika itu gue mengakhiri tahun di Masjid At-tin dengan mengikuti zikir akbarnya Ustad Ilham Arifin. Dari rumah habis Magrib tanggal 31 Desember dan pulang tanggal 1 Januari dini hari. Nah, akhir tahun 2006 sudah gue mulai tanggal 29 Desember. Yang lebih seru lagi, acara akhir tahun selama empat hari itu gue habiskan di tiga provinsi!

Gara-garanya adalah gagalnya rencana gue dan enam teman-teman RTC bertahun baru di Gunung Bromo karena pertimbangan cuaca. Tetapi karena kami sudah keburu membeli tiket Air Asia Jkt-Sby-Jkt sejak tiga bulan yang lalu putar otaklah kami mencari tujuan liburan pengganti yang relatif dekat dari Sby. Setelah mempertimbangkan beberapa alternatif dipilihlah Yogyakarta.

Kalau ngliat peta, bisa kebayang ribetnya perjalanan kami. Tanggal 29 Desember siang berangkat dari Soekarno Hatta. Nyampe sore sekitar jam 14.00 di Juanda. Karena sudah di-booking-kan tiket Sby-Bandung via Yogya pukul 16.00, kami langsung menuju Stasiun Kereta Gubeng. Dua jam di Sby, enam jam kami habiskan di atas kereta Sancaka. Sampai di Stasiun Kereta Tugu jam 22.00, artinya dalam tempo kurang dari 24 jam gue sudah melewatkan hari di empat provinsi (Jkt, Jatim, Jateng, Yogyakarta)! Nggak heran begitu nyampe di penginapan di daerah Tirtodipuran, badan sudah lemes. Gudeg murah meriah pun mengisi perut teman-teman sementara gue mengisinya dengan segelas wedang hangat yang rasanya semirip kuah sekoteng. Segar!

Hari kedua nggak kalah luar biasa dibandingkan hari pertama. Yogyakarta hari itu diguyur hujan hampir seharian. Tapi dasar sudah berniat, Candi Borobudur pun dipilih sebagai tujuan wisata hari itu. Kalau ngliat peta Borobudur itu letaknya di Magelang, yang sudah masuk Provinsi Jateng. Biar kata beda provinsi tapi kami cuma menempuh perjalanan kurang lebih satu jam saja dari penginapan. Tapi pas nyampe Borobudur, hujan masih turun lumayan deras. Alhasil sambil berbasah-basah, kami melihat-lihat satu dari tujuh keajaiban dunia itu.

Walau tidak maksimal gue cukup terpesona melihat maha karya manusia nenek moyang bangsa Jawa itu. Kalau gue pernah bilang Angkor Wat di Kamboja is ‘Huge’, Borobudur juga nggak kalah besar walau lebih cocok dibilang ‘Big’ saja. Tapi dibandingkan Angkor, Borobudur jauh lebih cantik. Di dinding bangunan ini terdapat relief-relief yang bercerita (sayang kita nggak nyewa guide jadi nggak tahu yang terpahat di dinding-dinding candi). Udah gitu ada banyak sekali stupa dengan berbagai ukuran. Sayang waktu itu hujan. Andai terang, seluruh sudut Borobudur pasti sudah kami eksplorasi he he he.

Hari ketiga lagi-lagi kami mengunjungi candi. Kali ini ke Prambanan, yang masih termasuk provinsi Yogyakarta. Prambanan tidak semegah Borobudur. Udah gitu karena itu candi Hindu bangunannya menurut gue juga tidak terlalu cantik. Apalagi gara-gara gempa tahun lalu, beberapa bagian rusak berat. Di luar candi utama, terdapat reruntuhan yang dibiarkan begitu saja. Sementara bagian dalam kompleks candi utama tidak bisa dimasuki karena masih dalam perbaikan.

Walaupun begitu, Prambanan menurut gue punya kemasan lebih menarik. Sebelum masuk kompleks candi mata kami disuguhi dengan pemandangan taman dan kolam yang cantik. Udah gitu kami nggak perlu khawatir kebecekan karena sepanjang jalan sudah berlantai batu. Prambanan setahu gue juga lebih sering mengadakan kegiatan budaya. Waktu gue dan teman-teman datang ke sana, sedang ada pameran dan panggung hiburan yang diadakan klub pemilik VW Indonesia (kayaknya). Gue juga sempat ngliat baliho besar yang mengumumkan pagelaran Sendratari Ramayana.

Habis dari Prambanan, kami ke Parangtritis. Pantai yang satu ini tidak banyak berubah dari terakhir gue datangi. Bedanya waktu itu cuaca lagi bersahabat hingga gue dan teman-teman kantor Detik Jogja bisa mendekat ke pinggir pantai. Nah, waktu ke sana sama teman-teman hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Ombaknya tinggi banget, dan angin pun berhembus kencang. Nggak sampai satu jam badan sudah kedinginan dan lengket karena pasir pantai.

Puas ke candi dan pantai, malamnya kami memutuskan menghabiskan di kota saja. First stop ke Galeria Mall karena ada yang mau beli perak di surabaya Silver. Habis itu makan malam di Gajah Wong yang maha ramai. Asyiknya sudah disuguhi makanan enak berporsi besar, suasana nyaman bernuansa pedesaan, nggak perlu ngeluarin duit pulak karena ditraktir! Thanks a bunch, Ikhwan =)

Udah kenyang, namun malam masih panjang. Akhirnya kami memutuskan berkaraoke he he he. pergantian tahun pun kami lewati di karaoke tanpa terompet (walau dapat dari Gajah Wong) dan tanpa kemeriahan kecuali kemeriahan suara teman-teman yang lagi nyenyong nggak merdu.

Tiga malam di Yogyakarta, kami harus melakukan perjalanan seperti hari pertama lagi keesokan harinya. Bedanya kalau waktu itu pakai kereta, balik ke Sby-nya kami menggunakan mobil travel. Lebih enak karena kita bisa berhenti kapan aja dan bisa ngobrol tanpa khawatir diawasi orang lain. But then we did it again. Melewati tiga provinsi (Yogyakarta, Jateng, Jatim) dan entah berapa kota.

Oh ya, waktu singgah makan siang di Mojokerto gue dan teman-teman melihat pemandangan unik. Lagi ada parade drum band anak TK di sebuah jalan raya kota. Gue baru inget pas ngliat Metro TV malam ini. Wah, kecil-kecil udah masup teve. Jadi inget masa-masa ber-drum band ria di SMA. Sama-sama panas-panasan he he he.

Tapi nggak kayak hari pertama, begitu sampai di Sby sekitar pukul 14.00 kami berkesempatan untuk mengunjungi satu ‘objek wisata’ yaitu Museum Sampoerna. Berkah di balik delay empat jam Air Asia, nih, karena museum itu cukup berkesan. Andai semua museum di Indo dibikin menarik kayak gitu, pasti lebih banyak orang tua yang nggak segan mengajak anaknya pergi ke museum.

Finally, sekitar jam 21.00 pesawat kami bertolak dari Juanda. Satu setengah jam di udara, yang bikin gue deg-degan melulu entah kenapa, jam 22.30 kami sampai lagi di Jakarta. Eh, kalau dipikir-dipikir karena gue pulang ke Pondok Gede di Bekasi (Jabar) artinya lima provinsi dong yang gue lewati sepanjang akhir tahun kemarin! Weleh-weleh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...