Langsung ke konten utama

Harga-Menghargai

Suatu malam gue nebeng pulang ke rumah dengan seorang teman.. naik motor.. it is not the first time gue nebeng motornya tetapi suatu kejadian di pengkolan jalan raya ibukota itu membuat gue berpikir..

ceritanya waktu itu jalanan lagi macet banget, mobil pada ngantri, motor apalagi, pokoknya jalanan semrawut lah… pas lagi bergelut dengan kemacetan itu ada mobil barusan keluar dari kantor gede di pinggir jalan… karena jalanan macet stuck-lah si mobil di belokan..

temen gue yang bawa motor langsung mencak-mencak "aduuuh egois banget sih ni mobil…." reaksi gue cuman satu yaitu bertanya "egois kenapa sih" setelah temen gue itu dengan ‘kreatifnya’ ngunain trotoar buat jalan motornya gue baru ngeh "o…si timor item itu egois karena ngalangin jalan motor"

setelah belokan itu gak lama kita nemu belokan lagi…. keluarlah mobil lain dari belokan itu… lagi2 temen gue ngamuk dengan omongan yang sama dengan yang pertama, tapi kali ini omelannya lebih panjang "duh gue sebel deh dengan orang2 bermobil mereka tuh egois banget…." gue langsung wandering gini "mereka (orang yang bawa mobil) egois? masa sih?"

gue ngak sering bawa mobil tapi waktu bawa gue sering juga melontarkan pertanyaaan yang serupa "mereka kok egois amat sih" tapi bukan ke arah orang2 yang bawa mobil melainkan yang bawa motor… ngak sekali dua kali gue ngrasa gondok sama orang2 bermotor, mulai dari betapa ngak tertibnya mereka (sering nylonong di lampu merah), ngribetinnya (karena gak tertib tadi) dan ngak mau ngalahnya (klo serempetan mana ada motor yang mau disalahin)…

tapi setelah kejadian malam itu gue baru ngeh kalo pengendara motor ternyata berpikir sama terhadap pengendara mobil…. gue jadi wandering (lagi) kalo begini berarti semuanya tergantung dari sisi mana kita berada… kalo lagi naik motor ketemu macet kita bakal nyalahin mobil yang ngalangin jalan motor sementara kalo lagi naik mobil kita bakal nyalahin motor yang bersliweran gak tertib…

tapi apa iya harus gitu terus kalo aja di indonesia ini (minimal jakarta lah) orang-orangnya pada mau saling menghargai (dengan cara tertib lalu lintas dulu deh) mungkin masalah kaya gini gak bakal mencuat…. yang bawa mobil bakal menghargai yang make motor dan mungkin ngiri karena mereka gak perlu ngisi bensin sampe beratus2 ribu.. trus yang bawa motor juga sebaliknya, ngiri karena yang bawa mobil ngak ngrasain kehujanan dan kepanasan…

bisa ngak ya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh. Nasib Mantan Atlet Dahulu Jaya, Kini Merana Meliyanti Setyorini - detiksport Sukarna (Detiksport/Meliyanti) Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli. Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970. Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon ...

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

A Thousand Splendid Suns

Rating: ★★★★ Category: Books Genre: Literature & Fiction Author: Khaled Hosseini Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku. Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu. Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih. Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara or...