Search This Blog

Sunday, January 28, 2007

Official: Mel Jadi Tante

Tanggal 24 Januari  pukul 08.20 WIB, handphone gue berdering. Dari 0819xxxxxxx. Nggak kenal, tapi angkat saja ah. Eh, ternyata dari Ibu.


Dengan nada super gembira, beliau mengabarkan bahwa kakak iparku (Mbak Novi) baru saja melahirkan. Bayi perempuan seberat 3,70 kg dan panjang 48 cm. “Panggilannya Gadiz,” kata ibuku.


Selanjutnya, telepon diberikan ibu kepada Mas Yoyok – my dear brother. Duh, sudah jadi bapak dia. Dan ucapan selamat teriring do’a buat Gadiz gue ucapkan. Habis itu telepon ditutup. 


Siangnya di kantor si ayah SMS. “Tante Meli dan Tante Risa (adik gue) ponakan sudah lahir tuch (ayah kayaknya nggak tahu kalau gue ditelpon sama ibu) sudah SMS lom ke mas Yo…”. Dari nada sms-nya, ayah pasti sedang senang.


Malamnya, ibu pulang dari Labuan – Gadiz lahir di kampung halaman ibunya di Labuan. Dia langsung bercerita panjang lebar. “Mbak Novi nggak jadi di vakum. Lahirnya normal,” jelasnya sambil menambahkan info detail soal persalinan kakak iparku. 


“Gadiz cantiiik sekali. Waktu lahir kulitnya bersih sekali. Lebih mirip Mas (Yoyok), tapi hidungnya pesek seperti ibunya,” tutur ibu. Nggak berapa lama omongannya terpotong karena telpon dari si ayah. Telponnya? Ngomongin Gadiz lagi.


Sampai gue tertidur hari itu, yang jadi bahan omongan orang rumah cuma Gadiz. Jadi penasaran melihat wajahnya. Oh ya nama lengkapnya Gadiza Nur Fauziah Basnaf. Welcome, niece :-)

Tentang Undangan

Dua tahun terakhir, gue lumayan akrab sama yang namanya undangan pernikahan. Sampai pertengahan bulan Januari ini saja, misalnya, gue sudah menghadiri dua dari empat undangan pernikahan. Dari keempatnya, dua diantaranya ada undangannya. Atas nama ayah, sih, jadi adiknya eyang dan tante tetangga rumah itu mengirimkan undangan.

Dulu, tanda kita diundang ke suatu acara adalah menerima undangannya. Biasanya dikirim lewat pos. Tapi sekarang jaman sudah beda. Tempo hari itu, teman gue yang satu ngundang via SMS, sementara yang lain ngundang lewat milis. Kalau dipikir-pikir kayaknya lebih banyak undangan pernikahan yang gue terima lewat SMS, milis, atau dari mulut ke mulut.

“Mel, datang yah ke resepsi pernikahan kami hari A di B jam C, ditunggu kedatangannya, anu dan anu,” begitu petikan salah satu undangan pernikahan yang gue terima via SMS.

Kalau dari milis atau e-mail biasanya scan-an undangan sebenernya. Kadang sampai sama foto-foto yang ada di undangan (kalau ada) dan denah lokasi resepsi (ini biasanya selalu ada). Kalau yang ngundang nggak mau ribet, isinya, ya, sama saja kayak ngundang lewat SMS.

Dengan modal diundang via SMS atau e-mail, sudah sering banget gue datang ke pernikahan teman. Nah, yang repot kalau undangan pernikahannya dari mulut orang ketiga. “Mel, si A nikah lho besok di B jam C, datang aja.” Wah, kalau undangan model begini, kadang sering gue ragu datang. Takut aslinya nggak diundang, sih. Tapi pernah juga sih dengan modal cuek datang, soalnya teman yang ngasih tau memberi embel-embel “undangannya ada di gue.”

Kalau nggak salah ingat, tiga kali gue dapat undangan pernikahan via “pos”. Posnya gue kutip karena undangan yang semestinya dikirim lewat pos itu malah gue terima langsung dari tangan yang ngundang he he he. Anyway, salah satu undangan itu adalah yang terunik yang pernah gue lihat.

Jadi undangannya dimasukan dalam kotak berbentuk elips yang dibuat bahan yang disulam. Beberapa lembar kertas menjelaskan waktu dan tempat resepsi. Elips itu dimasukkan lagi ke dalam kantong yang juga disulam. Di depannya ada inisial nama pengantinnya. Untuk alamat disisipkan di bagian tali penutup kantong.

Undangan pernikahan itu begitu cantik. Dan menggambarkan pengantin perempuannya yang memang orang Jawa yang halus perilakunya. Ibuku, yang memang pengoleksi undangan pernikahan itu he he he, gembira banget waktu dikasih lihat.

Eh, tapi undangan dari dua teman gue yang lain juga unik, lho. Yang satu uniknya karena cuma selembar tanpa amplop pula. Praktis. Sesuai sama karakter pengantin perempuannya.

Nah, yang satu lagi uniknya karena ada kalendernya! Katanya si pengantin perempuan, “Biar nggak langsung dibuang, Mel, kan masih bermanfaat tuh kalendernya.” Maksudnya mungkin biar kita ingat terus sama dia. Memang cocok sama dia yang senang berteman bahkan masih awet sama teman-teman SD-nya.

Terlepas dari unik enggaknya, mewah enggaknya dan lewat apapun medianya, yang namanya undangan itu menurut gue adalah amanah. Benar kata ibuku, sebisa mungkin datanglah karena artinya kita menghormati si pengundang. 

Bulan depan siapa lagi, ya, yang mau ngasih undangan?

Monday, January 15, 2007

Bye, Becks

Gara-gara punya klub favorit Real Madrid, banyak teman mengira gue doyan karena memfavoritkan David Beckham. Padahal, sori aja, gue udah doyan Madrid jauh sebelum Becks ke sana. Bahkan, boleh percaya boleh nggak, Becks itu sebetulnya salah satu pemain bola paling gue sebelin sepanjang masa.

Mangkanya tiga tahun lalu gue sempet terkaget-kaget waktu tahu dia pindah ke Madrid. Kok bisa, sih? Walau lumayan signifikan juga perannya buat Madrid selama tiga musim terakhir, tapi, tetep, gue menganggap dia adalah pembawa sial. Abis sejak dia datang nggak ada gelar yang mampir ke lemari tropi di Santiago Bernabeu.

Setelah tiga musim mencoba menerima kehadiran Becks, akhirnya gue lega. He finnally move. To America. Fuih, semestinya gue tahu kalau waktu main di Madrid pun motivasi dia adalah popularitas. Uang. Soalnya dari sejak main di Real, pendapatannya yang diterimanya makin gede aja -- walau dalam daftar pemain bola terkaya di dunia dia cuma nomor dua setelah Ronaldinho.

Yang lebih melegakan lagi sebetulnya karena kepergiannya makin menegaskan habisnya Los Galacticos. Geez, gue nggak pernah suka sebutan itu karena mengingatkan sama kebijakan transfer pemain mega bintang yang malahan bikin Madrid rusak. Sekarang, tinggal Ronaldo aja nih yang perlu didepak.

Dan Madrid akan kembali seperti pertengahan 1990-an yang nggak punya mega bintang. Ruud Van Nistelrooy dan Fabio Cannavaro? Kita tunggu aja berapa lama mereka berdua tahan. Menurut gue, Canna bakal semusim aja di Real. Musim depan balik deh dia ke Italia. Sementara Ruudtje mungkin bisa dua atau tiga musim.

Anyway thanks Becks for the decision. No thanks for three-painful-season. But, good luck in America!

Thursday, January 4, 2007

4 Hari 3 Provinsi

Akhir tahun 2006 menjadi akhir tahun paling melelahkan dalam tiga tahun terakhir ini. Gimana enggak? Nih, perbandingannya.

Tahun 2005 akhir tahun gue habiskan di Anyer. Pergi tanggal 31 Desember siang, dan pulang tanggal 1 Januari malam. Tahun 2004, bahkan lebih singkat lagi. Ketika itu gue mengakhiri tahun di Masjid At-tin dengan mengikuti zikir akbarnya Ustad Ilham Arifin. Dari rumah habis Magrib tanggal 31 Desember dan pulang tanggal 1 Januari dini hari. Nah, akhir tahun 2006 sudah gue mulai tanggal 29 Desember. Yang lebih seru lagi, acara akhir tahun selama empat hari itu gue habiskan di tiga provinsi!

Gara-garanya adalah gagalnya rencana gue dan enam teman-teman RTC bertahun baru di Gunung Bromo karena pertimbangan cuaca. Tetapi karena kami sudah keburu membeli tiket Air Asia Jkt-Sby-Jkt sejak tiga bulan yang lalu putar otaklah kami mencari tujuan liburan pengganti yang relatif dekat dari Sby. Setelah mempertimbangkan beberapa alternatif dipilihlah Yogyakarta.

Kalau ngliat peta, bisa kebayang ribetnya perjalanan kami. Tanggal 29 Desember siang berangkat dari Soekarno Hatta. Nyampe sore sekitar jam 14.00 di Juanda. Karena sudah di-booking-kan tiket Sby-Bandung via Yogya pukul 16.00, kami langsung menuju Stasiun Kereta Gubeng. Dua jam di Sby, enam jam kami habiskan di atas kereta Sancaka. Sampai di Stasiun Kereta Tugu jam 22.00, artinya dalam tempo kurang dari 24 jam gue sudah melewatkan hari di empat provinsi (Jkt, Jatim, Jateng, Yogyakarta)! Nggak heran begitu nyampe di penginapan di daerah Tirtodipuran, badan sudah lemes. Gudeg murah meriah pun mengisi perut teman-teman sementara gue mengisinya dengan segelas wedang hangat yang rasanya semirip kuah sekoteng. Segar!

Hari kedua nggak kalah luar biasa dibandingkan hari pertama. Yogyakarta hari itu diguyur hujan hampir seharian. Tapi dasar sudah berniat, Candi Borobudur pun dipilih sebagai tujuan wisata hari itu. Kalau ngliat peta Borobudur itu letaknya di Magelang, yang sudah masuk Provinsi Jateng. Biar kata beda provinsi tapi kami cuma menempuh perjalanan kurang lebih satu jam saja dari penginapan. Tapi pas nyampe Borobudur, hujan masih turun lumayan deras. Alhasil sambil berbasah-basah, kami melihat-lihat satu dari tujuh keajaiban dunia itu.

Walau tidak maksimal gue cukup terpesona melihat maha karya manusia nenek moyang bangsa Jawa itu. Kalau gue pernah bilang Angkor Wat di Kamboja is ‘Huge’, Borobudur juga nggak kalah besar walau lebih cocok dibilang ‘Big’ saja. Tapi dibandingkan Angkor, Borobudur jauh lebih cantik. Di dinding bangunan ini terdapat relief-relief yang bercerita (sayang kita nggak nyewa guide jadi nggak tahu yang terpahat di dinding-dinding candi). Udah gitu ada banyak sekali stupa dengan berbagai ukuran. Sayang waktu itu hujan. Andai terang, seluruh sudut Borobudur pasti sudah kami eksplorasi he he he.

Hari ketiga lagi-lagi kami mengunjungi candi. Kali ini ke Prambanan, yang masih termasuk provinsi Yogyakarta. Prambanan tidak semegah Borobudur. Udah gitu karena itu candi Hindu bangunannya menurut gue juga tidak terlalu cantik. Apalagi gara-gara gempa tahun lalu, beberapa bagian rusak berat. Di luar candi utama, terdapat reruntuhan yang dibiarkan begitu saja. Sementara bagian dalam kompleks candi utama tidak bisa dimasuki karena masih dalam perbaikan.

Walaupun begitu, Prambanan menurut gue punya kemasan lebih menarik. Sebelum masuk kompleks candi mata kami disuguhi dengan pemandangan taman dan kolam yang cantik. Udah gitu kami nggak perlu khawatir kebecekan karena sepanjang jalan sudah berlantai batu. Prambanan setahu gue juga lebih sering mengadakan kegiatan budaya. Waktu gue dan teman-teman datang ke sana, sedang ada pameran dan panggung hiburan yang diadakan klub pemilik VW Indonesia (kayaknya). Gue juga sempat ngliat baliho besar yang mengumumkan pagelaran Sendratari Ramayana.

Habis dari Prambanan, kami ke Parangtritis. Pantai yang satu ini tidak banyak berubah dari terakhir gue datangi. Bedanya waktu itu cuaca lagi bersahabat hingga gue dan teman-teman kantor Detik Jogja bisa mendekat ke pinggir pantai. Nah, waktu ke sana sama teman-teman hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Ombaknya tinggi banget, dan angin pun berhembus kencang. Nggak sampai satu jam badan sudah kedinginan dan lengket karena pasir pantai.

Puas ke candi dan pantai, malamnya kami memutuskan menghabiskan di kota saja. First stop ke Galeria Mall karena ada yang mau beli perak di surabaya Silver. Habis itu makan malam di Gajah Wong yang maha ramai. Asyiknya sudah disuguhi makanan enak berporsi besar, suasana nyaman bernuansa pedesaan, nggak perlu ngeluarin duit pulak karena ditraktir! Thanks a bunch, Ikhwan =)

Udah kenyang, namun malam masih panjang. Akhirnya kami memutuskan berkaraoke he he he. pergantian tahun pun kami lewati di karaoke tanpa terompet (walau dapat dari Gajah Wong) dan tanpa kemeriahan kecuali kemeriahan suara teman-teman yang lagi nyenyong nggak merdu.

Tiga malam di Yogyakarta, kami harus melakukan perjalanan seperti hari pertama lagi keesokan harinya. Bedanya kalau waktu itu pakai kereta, balik ke Sby-nya kami menggunakan mobil travel. Lebih enak karena kita bisa berhenti kapan aja dan bisa ngobrol tanpa khawatir diawasi orang lain. But then we did it again. Melewati tiga provinsi (Yogyakarta, Jateng, Jatim) dan entah berapa kota.

Oh ya, waktu singgah makan siang di Mojokerto gue dan teman-teman melihat pemandangan unik. Lagi ada parade drum band anak TK di sebuah jalan raya kota. Gue baru inget pas ngliat Metro TV malam ini. Wah, kecil-kecil udah masup teve. Jadi inget masa-masa ber-drum band ria di SMA. Sama-sama panas-panasan he he he.

Tapi nggak kayak hari pertama, begitu sampai di Sby sekitar pukul 14.00 kami berkesempatan untuk mengunjungi satu ‘objek wisata’ yaitu Museum Sampoerna. Berkah di balik delay empat jam Air Asia, nih, karena museum itu cukup berkesan. Andai semua museum di Indo dibikin menarik kayak gitu, pasti lebih banyak orang tua yang nggak segan mengajak anaknya pergi ke museum.

Finally, sekitar jam 21.00 pesawat kami bertolak dari Juanda. Satu setengah jam di udara, yang bikin gue deg-degan melulu entah kenapa, jam 22.30 kami sampai lagi di Jakarta. Eh, kalau dipikir-dipikir karena gue pulang ke Pondok Gede di Bekasi (Jabar) artinya lima provinsi dong yang gue lewati sepanjang akhir tahun kemarin! Weleh-weleh.

Indahnya Ayat-Ayat Cinta

Seperti halnya genre film, gue juga punya genre buku favorit. Chicklit alias bacaan cewek favorit gue. Sejak tahun 2004 ada lebih 20 chicklit yang gue koleksi. Sementara kalau baca doang lebih banyak karena gue suka pinjem dari Wulan atau teman yang suka chicklit juga.


Tapi entah kenapa waktu sedang mencari buku di toko Gunung Agung pada suatu hari, mata gue tertumbuk ke buku dengan judul Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dari beberapa komentar tentang buku tersebut ketauan kalau genrenya sastra Islami. Genre yang jarang banget gue sentuh apalagi gue baca. Tapi komentar-komentarnya dahsyat dan itu adalah best seller yang udah memasuki cetakan ke XVIII!


Walau gue udah telat dua tahun (karena cetakan pertamanya keluar tahun 2004), setidaknya gue pernah tahu ada buku sastra Islami yang bisa gue  baca sampai habis. Pilihan gue nggak salah karena buku itu jauh lebih bagus dari yang gue bayangkan sebelumnya.


Hal pertama yang membuat gue senang membaca buku itu adalah setting Mesir yang diangkat penulis. Gue sering baca buku bersetting di Inggris, Amerika, Prancis, Jepang, dsb namun baru kali ini gue baca buku bersetting Mesir utamanya di Cairo. Udah gitu El Shirazy juga mampu menggambarkan kondisi kota dengan detail, termasuk menceritakan budaya orang Mesir dengan jelas. Gue merasa ada di Cairo beneran saat membaca lembar demi lembar buku itu. Dan gue percaya Cairo, di luar cuacanya yang panas bener, adalah kota yang cantik dan harus gue kunjungi suatu saat nanti.


Kedua, sesuai genre-nya, buku ini Islami bener. Gue merasa pengetahuan gue soal Islam bertambah setiap membaca lembar demi lembarnya. Yang paling berkesan ada di bab terakhir buku, saat maut mau menjemput Maria. Di situ El Shirazy dengan lugas menggambarkan orang saleh yang sedang menghadapi sakaratul maut. Walau gue yakin dia belum pernah dalam kondisi itu, tapi dia mengutip kitab Imam Syamsudin Al Qurthubi yang mendeskripsikan surga hingga membuat orang awam seperti gue tergugah. Luar biasa.


Layaknya membaca skripsi, El Shirazy banyak menggunakan referensi tulisan orang lain. Sesuatu yang jarang buanget gue temui dalam penulisan buku non-fiksi apalagi yang populer. Walau hanya sebaris kalimat, sebuah kutipan pasti dia jelaskan asal-usulnya.


Walau isinya sangat Islami, banyak kalimat indah yang membuat buku ini dikategorikan novel percintaan bahkan novel asmara kalau kata Hadi Susanto dalam prolognya. Dan gue sepakat dengan pemerhati sastra dan kandidat doktor dari sebuah universitas di Belanda itu. Kenapa? Karena El Shirazy juga menganut satu prinsip soal cinta: bahwa cinta nggak bisa menunggu.


Kelebihan lain adalah penggunaan dua bahasa, bahkan kadang empat bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Jerman di buku ini. Benar-benar menambah pengetahuan. Namun, soal bahasa, ada kekurangan yang mengganggu. Gue sampai tertawa geli waktu dia menulis kalimat happy birthday menjadi happy bird day! he he he. Memang tidak ada manusia yang sempurna.


Anyway dari banyak buku yang pernah gue baca, Ayat-Ayat Cinta langsung termasuk dalam buku favorit gue. Dan seperti halnya Sophie Kinsella, Icha Rahmanti dan Takashi Matsuoka, El Shirazy sekarang menjadi penulis favorit gue. I’m glad that i found this book.