Search This Blog

Tuesday, September 25, 2007

Ketika Cinta Bertasbih

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Kang Abik
Ketika Cinta Bertasbih ini buku kedua karangan Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) yang selesai gue baca. So, mau nggak mau cuma bisa dibandingin dengan Ayat-Ayat Cinta, neh, review-nya.

Ketika Cinta Bertasbih bercerita soal mahasiswa Indo bernama Azzam yang sedang kuliah di Kairo. Nggak seperti pelajar kebanyakan di LN, yang murni belajar, Azzam memiliki tanggung jawab yang menuntutnya bekerja keras di Kairo. Alhasil dia malah sibuk berjualan tempe dan bakso, sampai-sampai kuliah S1-nya molor hingga sembilan tahun.

Selain Azzam, ada lagi cerita tentang Furqan, yang nasibnya 180 derajat beda sama Azzam. Udah S2, tajir, berahlak baik, ganteng pulak. Furqan pun punya kans besar menyunting bintang kampus Al Azhar, Anna, yang ternyata juga ditaksir oleh Azzam. Terus ada juga cerita soal Fadhil, adiknya Fadhil, Cut Mala, Hafez dll.

Kisah hidup Azzam, Furqan, dan beberapa tokoh yang lain menghias dwilogi yang, sama seperti Ayat-Ayat Cinta, sarat dengan penuturan akan nilai-nilai Islami.

Secara cerita, Kang Abik masih mengambil setting Kairo yang mantap deh penggambarannya. Sama seperti pada buku pertamanya yang gue baca, banyak pengetahuan pulak yang yang dapat dari buku ini. Tetapi, kalau dibandingin sama Ayat-Ayat Cinta, gue pikir novel ini agak kalah sedikit.

Pertama, ini buku dwilogi, so, ceritanya gak tuntas --hal yang gue nggak begitu suka. Kedua, terlalu banyak tokoh yang diceritain, so, menurut gue, gak fokus gitu ni buku ceritanya. Ketiga, kok gue agak terganggu ya dengan beberapa detail (misalnya penyebutan gelar dosen-dosen Al Alzhar) yang menurut gue gak penting disebutkan berkali-kali.

Terlepas dari kekurangannya, tapi gue tetep senang baca buku yang ini. Cara Kang Abik bertutur tentang manusia-manusia yang kadang bikin kadang bikin gue gemes sendiri. Iya, gemes ngebayangin ada gitu orang yang sedemikian "lurus" di bumi ini. Untungnya, tiap kali, Kang Abik selalu menyelipkan pesan "nggak ada orang yang sempurna" di buku2nya. Gue jg kagum sama kefasihannya soal banyak hal tentang Mesir. Satu lagi, ending buku2nya selalu gak mudah ditebak.

Kalau harus memberi rating maka bintang tiga gue pikir cukuplah buat Ketika Cinta Bertasbih. Tapi, tetep, gue penasaran pengen tahu ending kisah ini.

Sunday, September 16, 2007

Music And Lyrics

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Comedy
"Melodi itu seperti ketemu seseorang pertama kali. Itu adalah ketertarikan fisik. Seks. Tapi ketika kamu ingin mengenal seseorang lebih dalam, itulah lirik. Kombinasi keduanya yang membuat lagu punya magis.”

Itulah secuplik kalimat yang nyantol di kepala setelah nonton Music and Lyrics, waktu iseng di akhir pekan.

Dibintangi pasangan raja dan ratu genre drama komedi romatis, Hugh Grant dan Drew Barrymore, ekspektasi akan sebuah film yang paling nggak menyamai Wedding Singer membuncah. Sayang, yang terlihat adalah drama komedi romantis standar yang terpaksa gue kasih tiga bintang.

Alex Fletcher, seorang penyanyi pop paruh baya yang karirnya mulai menurun. Sophie Fisher, seorang tukang urus tanaman yang memiliki bakat terpendam sebagai penulis lirik.

Suatu saat, Fletcher, yang sedang berjuang untuk mengembalikan pamornya, diberi proyek membuat sebuah lagu buat seorang penyanyi muda yang sedang "naik daun". Nggak sanggup bikin sendiri, akhirnya Fletcher mencoba untuk meminta bantuan Fischer. Eh, siapa sangka, tidak cuma lirik lagu, penyanyi yang selalu mengandalkan goyang pinggul jijay-nya itu pun berhasil mendapatkan cinta Fischer.

Secara gue pengamat setia Drew Barrymore, agak kaget juga ngliat doi ternyata bisa nyanyi. Walaupun suaranya nggak seistimewa Nicole Kidman tapi nggak jelek-jelek banget. Dibanding dengan Mad Love, Never Been Kissed, Wedding Singer, atau 50 First Dates, gue suka banget ngliat dia dengan rambut brunette-nya. Terlihat lebih segar dan cantik.

Nggak kalah mengagetkannya adalah penampilan Hugh Grant yang ternyata pantas disebut aktor serba bisa. Walau suaranya standar, yang bikin gimana gitu adalah kemampuannya bermain piano yang ternyata cukup lumayan. Dan di usianya yang telah menginjak 40 tahun lbh, he’s still looks damn gorgeous!

Kalau nggak salah inilah pertama kali Drew dipasangkan dengan Hugh. Biar gitu chemistry-nya cukup oke, walaupun nggak sebagus kalau Drew sama Adam Sandler. Tapi entah kenapa, ya, kok gue nggak ngrasa terkesan sama filmnya.

Sampai mereka berdua berhasil nyiptain Way Back Into Love, gue merasa cukup terhibur. Tapi perasaan itu langsung berubah menjadi bete begitu mereka terlibat hubungan badan. Gimana ya, menurut gue terlalu cepet aja. Berikutnya hampir gue tinggal tidur. Untung, belum sampai tidur, penghujung ceritanya mampu membuat gue “terbangun”.

Anyway, gue nggak kecewa, sih, nonton film ini setelah sekian lama penasaran. Tapi terus terang gue berharap lebih baik daripada yang gue tonton sekarang.

Thursday, September 13, 2007

Benci Dingin

Gue alergi dingin. Dan hari ini ac kantor begitu menyiksa. Dalam keadaan perut kosong karena puasa, dinginnya pun makin kerasa. Mana nggak bawa sweater atau jaket, lagi.

Buka jendela pun nggak sukses bikin bulu kuduk yang udah merinding ini kembali ke asal. Duh, gue benci dinginnn!
Huaaa..... cobaan berat..... sabaar.... sabaaar.....

Tuesday, September 11, 2007

Ketut's Inn =D

Akhir pekan kemarin, selama tiga hari dua malam, gue berkunjung ke Yogjakarta. Selain ada keperluan pernikahan teman sekolah, sekaligus mengunjungi Ketut.

 

Waktu dia masih berkantor di Jakarta, Ketut adalah sahabat gue. Sebab itu gue, yang sangat susah membuka diri sama orang, kehilangan banget waktu dia memutuskan pindah ke Yogja karena mengikuti suami.

 

Sekarang, perempuan Bali yang bernama lengkap Ni Ketut Susrini itu sudah punya rumah sendiri di Yogja. Baru beberapa minggu selesai dibangun, dan gue adalah tamu pertama di rumah barunya!

 

Waktu pertama kali ke rumahnya, gue dibikin kaget saat mendapati betapa jauh rumahnya. Butuh waktu 30 menit bermotor dari pusat kota Yogja. Sayegan itu istilahnya Yogja coret, deh, kayak Bekasi atau Depok dari pusat kota Jakarta.

 

Tapi Ketut punya alasan tinggal di “luar kota”. Katanya “Aku suka di sini karena sejuk.” Pernyataan yang nggak salah sama sekali karena iklim di sekitar rumahnya mendukung banget buat beristirahat.

 

Layaknya keluarga muda lainnya, rumah Ketut juga masih sederhana. Waktu lagi ngobrol di ruang televisi mininya, kita berdua nggak bisa nggak ketawa waktu menyinggung betapa pamernya dia saat rumahnya sudah bergenteng. Begitu pun waktu dia baru bikin dapur, yang belakangan aja gitu dibikinnya setelah dia dan suami pindah ke sana.

 

Anyway, selain rumah dan status, nggak ada yang berubah dari Ketut. She’s still as nice as she used to. Gue dikasi kamar berkasur nyaman dan ber-bed cover tebal. Gue dimasakin –walau rasanya lumayan aja ya, Ketut, hehehe. Gue dianterin jalan-jalan kemana gue mau –walau  kadang nyasar :P. Singkatnya, I had a good time.

 

Kemarin, waktu pisah di stasiun, dia mengundang gue lagi ke rumahnya. “Nanti kalau rumahku udah ada sofanya, atau dapurnya sudah sempurna, atau jalan ke rumahku sudah diaspal, aku kasih tahu kamu,” katanya sambil cengar-cengir.

 

For sure, gue nggak keberatan berkunjung lagi ke Ketut's Inn =D