Search This Blog

Friday, November 21, 2008

James Bond: Quantum of Solace

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
Setelah tertunda dua pekan akhirnya nonton film yang jadi omongan ini hari Kamis lalu. Kalau banyak review film memuji film kedua James Bond versi Daniel Craig ini, gue, kok, lebih menikmati film pertamanya, yah.

Karena gue yakin sudah banyak pula yang nonton film ini, gue nggak mau berpanjang-panjang. Diceritakan Bond berusaha menguak misteri di balik pengkhianatan kekasihnya di film pertama, Vesper Lynd. Pencarian Bond ke Haiti membawanya kepada seorang pemilik LSM bernama Dominic Greene dan Camille Montes, kekasihnya.

Perempuan cantik itu diam2 memanfaatkan Greene demi membalas dendam kesumat atas rekanannya, Jendral Medrano. Bersama Camille, Bond berusaha mencari jawaban dari pertanyaan yang selama ini dicarinya.

Secara cerita biasa aja, nih. Cenderung nggak seru kata gue mah karena esensinya kok berkutat di balas dendam. It’s a bit cheesy I must say. Secara gambar lebih lumayan. Salut buat peng-edit-annya. Mengingatkan gue sama Bourne Ultimatum. Adegan kejar2an juga seru, termasuk adegan berantem pake tangan kosong dan berdarah2-nya yang ”nggak Bond banget”. Berhasil nih sutradaranya bikin Bond jadi kayak manusia biasa –walau teuteup kebisaannya banyak bener mulai dari nyetir speedboat sampe ”nyetir” pesawat.

Yang ”nggak Bond banget” juga adalah Daniel Craig yang terlihat kumal hampir di sepanjang film. Bond memeluk dan menemani teman (laki2) yang sedang sekarat? Kalo perempuan sih nggak heran. Dan keknya gue gag denger dia menyebutkan namanya dengan aksen yang terkenal itu. Tapi di film ini Bond masih doyan Vodka yang dikocok, kok. Dan dia masih setia dengan Aston Martin dan Sony Ericsson :P

Ah, ya, gue harus menyebutkan satu line favorit gue di film ini. It’s not by Bond. “Please, make it quick,” kata seseorang itu. Nempel banget. Hehehe.

Sehabis nonton Casino Royale, gue ingat pernah bilang sangat menantikan film2 Bond versi Craig karena sisi manusiawinya. Film ini lumayan berhasil --walau hanya lumayan saja

Monday, November 3, 2008

Eagle Eye

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
Salah satu film paling menarik yang gue tonton tahun ini. Mengangkat tema gila dengan visualisasi yang nggak kalah gila! A must seen one I must say.

Film yang diproduseri oleh Steven Spielberg ini mengangkat tema intelijen tingkat tinggi dengan dua tokoh utama. Jerry Shaw hanyalah seorang teknisi di sebuah ”bengkel” reparasi mesin foto kopi di kota Chicago. Sementara di tempat lain Rachel Holloman menikmati hidupnya sebagai single parent sekaligus pengacara.

Namun sebuah telpon misterius di suatu malam membuat hidup keduanya berubah diliputi rasa cemas dan ketakutan. Setelah dipertemukan telpon misterius itu mereka harus menjalani hidup selayaknya buronan. Kejar2an seru dengan FBI membawa mereka pada sebuah kenyataan, kerja intelijen tingkat tinggi yang mencengangkan.

Secara tema boleh dibilang film ini bikin gue terkesima. Nggak kebayang kalo sampe teknologi intelijen seperti ARIA beneran kejadian. Ngebayangin hidup di sebuah negara dimana warga negaranya nggak diberi privasi barang sedikit.

Secara visual, film ini bener2 manjain mata (penikmat film action). Adegan kejar2an vs FBI gila, deh! Belum lagi kejar2an dengan waktu di penghujung film. Kalo kata gue mah menguras emosi hehe.

Sementara secara penokohan Shia LeBeouf, Michelle Monaghan dan Billy Bob Thornton –tiga tokoh utamanya– lumayan juga. Shia dengan brewoknya kelihatan lebih dewasa dibandingkan terakhir ngliatnya di Disturbia atau Transformers. Billy Bob as an FBI agent? Ya udah pasti lebih oke lah dibandingkan peran jadi Presiden Amrik yang ”mata keranjang” di Love Actually.

Sedikit aja kekurangan film ini yaitu ending-nya yang Hollywood banget, deh. Lumayan ngebetein, tuw. Tapi, seperti biasa, jangan sampe review gue mematahkan semangat nonton. Lagipula film ini syeru banget kok.

Thursday, October 23, 2008

Cerita Kulineran di Solo

Ketika lo sedang merasa jenuh dengan pekerjaan, apa yang lo lakukan? Mencari pelarian tentu saja. Kalau untuk gue pelariannya nggak lain dan nggak bukan adalah pergi berlibur.

Tapi secara kantong sedang cekak, gue harus memutar otak untuk mencari pelarian yang murah meriah namun menyenangkan. Pilihannya tentu saja mengunjungi kota dimana gue punya kerabat atau teman. That goes to Solo. Tanggal yang dipilih 16-18 Agustus yang lalu. Iya, ini kisah lama yang baru sempat gue tuturkan. Hehehe. 

Kebetulan, gue telah mendapatkan teman seperjalanan. Kebetulan lagi, teman kita, Donny, berencana pulang kampung setelah kembali dari sekolah di Australia. Asyik, gue kan belum pernah ke Solo.

Oleh karena itu, masih dengan semangat kantong cekak, gue pun menyanggupi ketika Ikhwan, mengajak berangkat naik kereta kelas bisnis. Lagi long weekend, kehabisan tiket, siapa sangka keberuntungan berpihak sama kita.

Seorang pria separuh baya tiba-tiba menawarkan tiket kereta yang kelebihan karena salah seorang rekannya membatalkan perjalanan. Mana ditawari dengan harga tidak berlebih. Cuma satu kursi memang, tapi cukup buat kita karena Ikhwan bersedia membeli tiket berdiri!

Di atas kereta, Ikhwan menemukan keberuntungannya sendiri. Secara kebetulan doi berdiri dekat kursi kosong melompong Ditunggu sampai Cikampek masih belum bertuan juga itu kursi. Di sini sang “dewi foruna” mucul. Di antara orang2 yang sama2 berdiri nggak ada yang mengklaim itu kursi. Boro2 direbutin. Alhasil, dengan modal tiket berdiri, Ikhwan juga bisa tidur pulas sampai Jogja. Hehe, we're so lucky, huh!

Begitu nyampe di Jogja, kami pun segera janjian sama Shelly yang sedang diklat CPNS di Kota Gudeg. Kali ini memanfaatkan jaringan perkantoran :P, gue mampir dulu ke Baciro sekedar untuk numpang mandi dan numpang naruh barang. Hehe, next time mampir bawa “buah tangan”, deh.

Anyway, karena sudah lumayan sering ke Jogja, seusai sarapan di Yu’ Mi kami pun memilih beranjak ke Gembira Loka –objek wisata terakhir di kota Gudeg yang belum gue jajaki. Senangnya ide gue didukung oleh Ikhwan dan Shelly dengan antusias. Mereka memang teman2 yang baik. Hehe.

Setelah mengunjungi area seluas lebih dua hektar hingga lumayan bikin kaki ini pegal, kami pun segera mencari makan siang. Dasar turis lokal yang kurang tahu jalan, kami pun end-up di SS! Hehe ampun, deh, jodoh banget gue sama tuw rumah makan. Tapi nggak tahu deh dengan Ikhwan dan Shelly, yang kayaknya sih tobat nyobain sambal terasi SS yang super pedas.

Abis maksi, Ikhwan mengajak kami mengunjungi Mario –temannya yang kami kenal juga—ke tokonya di daerah Kartodipuran. Sampai sore kami di situ dan baru ngacir dengan perut kenyang diisi waffle dan ice cappuccino setelah Donny mengabarkan kedatangannya di Jogja.

Ketemuan sama Donny di Mall Malioboro, kami pun menuju detik2 perpisahan dengan Shelly. Tapi sebelumnya doi dan Donny nggak tahan untuk nggak nyicip J-Co. Jah, old habit indeed hard to die :P.

Eng, ing, eng, it’s time to say goodbye to Shelly. Kami pun beranjak ke Stasiun Tugu dan menunggu kereta “bermerk” Prameks menuju Solo. Keknya sejam perjalanan saja dan kami pun disambut angin malam Stasiun Purwosari.

Ini dia bagian tak terlupakan di Solo. Ditraktir ketupat opor, tapi terus diajak marathon kiloan meter dari Purwosari ke restoran/motel/rumahnya di daerah Hasanuddin. Kampret, kami dikerjain Donny! Shi Jack susu murni pun nggak bisa menghilangkan kepegalan gue sesampainya di kamar.

Tapi lupakan marathon tadi malam. Paginya gue udah ceria lagi saat diajak Donny berjalan kaki ke Stadion Manahan. Kalo yang ini beneran olahraga karena Manahan di Minggu pagi sama seperti Senayan yang hiruk pikuk dengan orang berolahraga. Tapi kalo kami sih yang olahraga mulut alis makan! Hehe mulai dari nasi liwet, cabuk rambak, kue lekker, sampe tempe goreng jenis yang baru kali ini gue makan (namanya gue lupa) nggak lupa gue cicipin. Jah, inilah seninya berlibur sama teman yang doyan makan.

Sehabis sarapan, masih tanpa Ikhwan yang “ada urusan”, gue dan keluarga Donny (yang terdiri dari, catet, nyokapnya, bude, pakde dan sepupunya) beranjak ke keraton kasunanan. Dari kunjungan ini gue baru “ngeh” sama yang namanya sejarah keraton Jogja, kasunanan Solo, dan pura mangkunegaran. Yang begini bikin gue cinta wisata bangunan bersejarah.

Setelah puas ngider di keraton kasunanan, gue dan Donny (tanpa keluarga doi yang keknya mau wisata kuliner) melanjutkan perjalanan ke Benteng Trade Center yang terletak di luar wilayah keraton. Yes, you guess right, kita ke mall a la ITC. Ngapain di sana? Ngapain lagi kalau nggak ngider nyari yang bisa dibeli. Batik beragam rupa sepanjang mata memandang. Dan gue end-up beli oleh2 sederhana buat ayah di rumah—Ibu ntar aja, deh. Sementara buat gue sendiri belakangan (yah, masih dengan semangat kantong cekak :P).

Pada jam maksi kita ketemuan dengan Ikhwan, yang membawa “temannya” ngider bersama kami. Beli lapis Surabaya di Orion, dilanjutkan makan siang ayam bakar di sekitar Slamet Riyadi—katanya yang enak sih bebeknya, sayang special order-nya udah habis. Yasud, mau kemana lagi, neh?

Wisata bangunan bersejarah lagi, nyok! Tadinya mau ke pura mangkunegaran, tapi mundur setelah melihat sepinya tuw objek wisata. Next time aja, deh! Akhirnya end-up ke Museum Pers –yang sedang ada pameran bertema kemerdekaan—dan Karisma Solo Grand Mall! Hehe, akhirnya buku juga yang nemenin gue berlibur. Tapi sebentar doang karena malamnya giliran wisata kuliner lagi!

Seumur2, baru kali ini gue makan malam sebanyak itu. Diawali dengan opor ceker yang “mak, enak banget” di festival jajanan di depan BTC, dilanjutin dengan timlo yang “enak juga”, dan susu murni favorit orang Solo di penghujung malam. Ni kota memang surga makanan enak!

Tapi nggak tau apakah karena makan kebanyakan tadi malam atau karena kecapekan, hari terakhir di Solo gue tepar!

Iya, setelah sarapan gudeg ceker (tanpa ceker karena dah keabisan), perjalanan melihat Bengawan Solo, UNS (ini tujuannya apa nggak jelas blas cuma ngetes baca peta :P), Taman Sriwedari yang gagal (baca: belum buka), Museum Radya Pustaka yang gagal (baca: tutup) dan BTC untuk pencarian batik terakhir buat Ibu, gue terpaksa dibalikin ke kamar sementara mereka jalan2 sendiri. Gagal deh nglanjutin wisata kuliner dan perjalanan ngliat fosil di Sangiran.

Hehe, kalau kata Donny penyebab teparnya gue karena nggak cocok wisata batik. Maybe, Don, besok2 jangan lagi, deh, mendingan museum atau wisata alam aja :P

Setelah agak mendingan, ternyata saatnya gue dan Ikhwan kembali ke Jakarta tiba. Senin sore itu pelarian sejenak kami berakhir. Dan gue bersiap menghadapi dunia kerja yang menyebalkan. Thanks a lot buat Donny dan keluarga karena sudah menjadi tuan rumah yang baik. Next, kita jalan2 lagi, ya, guys!

*** Ikiiii, foto2nya manaaa?? huhuhu udah launching neh ceritanya ***

Sunday, October 19, 2008

My Blueberry Nights

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Perlu dua kali nonton DVD untuk memahami isi dari film yang dibintangi oleh Norah Jones dan Jude Law ini. In the end, I consider this movie as okay. Untuk pencinta film drama ni film recommended. Tapi yang bukan, mendingan jauh2, deh. Atau kek gue nonton lewat DVD.

Film ini bercerita tentang Elizabeth yang kecewa berat setelah mengetahui dirinya diselingkuhi sang pacar. Di cafe nyaman seberang apartemen kekasihnya, berhari-hari Lizzie curhat dengan sang pemilik, Jeremy.

Namun karena tak kunjung menemukan obat penawar rasa kecewanya, suatu hari Lizzie memutuskan untuk meninggalkan New York. Misinya adalah meninggalkan segala kenangan akan kekasihnya.

Dalam perjalanannya ke beberapa kota Lizzie bertemu dengan beberapa sosok yang mengembalikan kepercayaannya pada cinta. Ada Arnie Copeland, polisi yang masih mencintai istrinya yang selingkuh. Ada Leslie, penjudi kelas berat, dan ayahnya yang sekarat.

Scene favorit gue tentunya adalah obrolan ringan Lizzie dan Jeremy tentang pie blueberry. Everything happens for a reason? Sometimes it's not. Just like blueberry pie.

Hehehe penasaran, gag?

Monday, October 6, 2008

Laskar Pelangi

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Tiga bulan dan kurang dari 200 halaman, dari 494 halaman, novel Laskar Pelangi yang sanggup gue baca. Itu masih ditambah intermezzo dua novel dengan ketebalan “lumayan” yang gue tuntaskan duluan. Tapi setelah menonton filmnya di bioskop pada hari libur Lebaran itu, gue berhasil menuntaskan novelnya dalam tempo kurang dari 24 jam!

Dahsyat juga kekuatan filmnya. Sedahsyat antusiasme orang2 yang membuat kaki ini lemas mengantri tiket pukul 2.30 siang untuk menonton pertunjukan pukul 7.45 malam! Tapi tak apalah, ‘coz this movie is a must seen one!

Seperti novelnya, film besutan sutradara Riri Riza itu bercerita tentang anak2 melayu Belitong yang bersekolah di sekolah reyot bernama SD Muhammadiyah era 1970-an. 10 anak2 itu datang dari latar belakang keluarga serupa (baca: miskin), namun karakter yang berbeda-beda. Laskar Pelangi sendiri sebutan buat anak2 itu dari guru mereka, Bu Mus, karena kecintaan mereka pada fenomena alam yang bernama pelangi.

Ada Lintang, si super jenius anak nelayan daerah pesisir yang setiap harinya harus mengayuh sepeda sejauh kiloan meter hanya untuk sekolah. Ada Mahar –favorit gue—si nyentrik sekaligus seniman cilik yang luar biasa. Lalu tentu saja ada Ikal, tokoh utama yang divisualisasikan sebagai si kurus yang melankolis.

Di bawah bimbingan guru-guru mereka yakni Bu Mus dan Pak Harfan, Laskar Pelangi belajar dan menjalani hari2nya di sekolah sederhana namun menyimpan banyak cerita yang membuat gue rindu kembali ke jaman sekolah dasar dulu.

Seperti gue bilang, sebelum nonton filmnya gue sempat terbosan2 membaca lembar demi lembar novelnya. Entahlah, gue nggak menikmati deskripsi berlebihan sang penulis, Andrea Hirata. Di sinilah filmnya memiliki nilai lebih.

Walau, setelah gue tuntaskan novelnya, cukup banyak cerita yang dipangkas, tokoh2 baru yang nggak ada di novel, bagian2 yang tidak sama, visual yang tidak sesuai dengan deskripsi namun menurut gue filmnya PAS –nggak berlebihan dan tetap bercerita dengan semangat yang sama dengan novelnya. Indahnya masa kecil dan realitas dunia pendidikan di Indonesia bikin ceritanya sanggup dicerna otak ini dengan gampang.

Tapi tentu saja pendapat di atas cuma opini gue. Sebab film tersebut tidak memuaskan, contoh, teman gue sesama penonton yang sudah terlanjur mencintai novelnya. Selalu ada pro dan kontra dari pembaca setia. Kayaknya hakikat film adaptasi memang seperti itu. Tengok saja kasus Harry Potter atau, film2 yang terakhir gue tonton di stasiun televisi swasta tempo hari, Ayat-Ayat Cinta dan Cintapuccino. Memang imajinasi tidak cukup dipuaskan dengan visual semata.

Duh, ngomong apa sih gue barusan, tonton aja deh filmnya! :)

Friday, September 12, 2008

Situs Pertemanan

Setelah beberapa kali "nolak "undangan dari temen, akhirnya kemaren gue gabung di situs pertemanan terbaru yang namanya linkedin.com. Keknya situs yang satu itu agak beda dengan situs pertemanan yang sedang gue ikutin.

Dan memang iya, sih, kalo dari penerwangan sementara, karakternya lebih serius dibandingkan yang lain. FYI aja, gue udah punya account Friendster, Multiply, Facebook, sampe Hi5. Ini aja gue dah nolakin request dari tagged.com. Buat temans yang ngundang, maaf, ya, empat account di situs jaringan pertemanan rasanya sudah jauh dari cukup :D

Anyway, dari keempat situs pertemanan yang gue ikutin, kayaknya Multiply dan FS yang masih rajin gue tengokin. MP karena di sini gue bisa nulis, bisa narsis, bisa curhat karena nggak terlalu banyak juga temennya. Di sini gue bisa memilih sejauh mana privasi gue mo diumbar di internet.

Walaupun bosen, gue masih mbukain FS karena dari situ gue bisa gampang ketemu temen2 lama. Trus salah satu fitur yang gue demenin adalah testimonial. Hehe, banyak yang bilang testimonial di FS banyak boongnya karena biasanya cuma nulis yang bagus2 doang. Tapi kata Icha Rahmanti di novel Beauty Case, bacalah testimonial di FS kalo lo sedang butuh suntikan semangat. And it works for me.

Kemarin secara iseng gue membuka lagi testimonial2 FS gue yang nggak kerasa jumlahnya dah 107. Sebagian sifatnya bukan testimonial tapi salam2, tapi sebagian lagi, iya. Dan yang gue seneng sebagian yang iya itu datang dari teman2 yang bener2 mengenal gue.

Ada dari bos detiksport, yang susah banget gue mintain testimonial :D, tapi begitu keluar, isinya jreeeng. Dia rupanya sangat memahami gue :p. Ada dari wiwi yang bikin tersanjung. Dari tancuy yang isinya jujur mendekati kebenaran wakakak. Testi2 yang lumayan bikin gue senyum hari itu.

Jadi apa moral of the story tulisan ini? Keknya gag ada selain jangan tinggalkan situs pertemanan Anda. hehehe. Selamat berbuka puasa :)

Tentang Buka Puasa Bersama

Lagi bulan puasa gini, banyak temans pasti sering menerima undangan buka puasa bersama di luar rumah. Sama temen2 sekolah, temen2 kuliah, temen kantor, temen gaul, dst2. Banyak temen gue bahkan lebih sering buka puasa di luar ketimbang rumah sendiri. Itu temen, gue mah enggak 

Di Jakarta, apalagi kalau bukbernya bareng temans yang sama2 nggak mau repot, mall mungkin jadi primadona karena kepraktisannya. Praktis emang iya, tapi nyaman? ntar dulu.

Pertama, buka di mall ruamenya pol. Kalo udah jam bukber pasti semua resto atau food court sekalipun tumplek plek sama orang. Hari gini, kebanyakan resto pun nggak terima reservasi, sementara food court, ya elo tau sendiri, harus rebutan cari tempat. Akhirnya, solusi satu2nya adalah datang lebih awal atau meminta temans datang lebih awal. Seringnya, di beberapa komunitas, gue yang selalu disuruh dateng lebih awal (dan mau lagi). Ya udah dhe  *curhat colongan gene 

Selain soal makan, urusan ibadah penting juga, dong, dipikirin. Kalau pas bukber di mall yang musholla-nya luas dan adem, mungkin nggak masalah, tapi masalah banget kalo musholla di mall tersebut sempit hingga sesak sama manusia yang sholat di saat yang bersamaan. Kan udah jadi pengetahuan umum kalo musholla di mall2 dibuat seadanya. 

Sepengamatan gue, mall dengan musholla paling nyaman se-Jakarta adalah Pasific Place SCBD. Kalo yang lumayan, musholla di Plasa Senayan dan PIM 2. Paling enggak nyaman udah pasti musholla di Plasa Semanggi. Yang enggak nyaman juga musholla di PIM 1 yang sumpek. Minggu lalu gue baru bukber di Kalibata Mall, dan musholla-nya guede tapi panass. Jadi termasuk kurang nyaman juga, yeh

Terlepas dari kekurangan, kelebihannya buka puasa di mall seperti kata gue adalah praktis. Untuk makan tinggal order, dan nggak pusyeng mikirin menu atau berapa orang yang datang (karena berhubungan dengan budget). Tinggal cari resto yang paling cocok sama budget dan lidah (sebagian besar) peserta bukbernya. Nggak perlu repot juga ngasih peta karena yang namanya mall pastinya gampang dicari.

Anyway, kalo buat gue yang paling penting dari yang namanya buka puasa bersama sih sama siapa lo bukber, bukan tempatnya. So, di mall hayuk, di rumah orang oke --walau kalau kata salah satu iklan di tipi buka di rumah juga menyenangkan  Kalo lo?

Thursday, August 28, 2008

The Kite Runner

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Khaled Hosseini
Ini novel kedua Khaled Hosseini yang gue baca. Padahal yang betul, The Kite Runner keluar terlebih dahulu dibandingkan A Thousand Splendid Suns. Sama seperti sebelumnya, The Kite Runner sama menyentuhnya, sama detailnya, dan sama istimewanya.

Novel ini bercerita mengenai Amir dan Hassan, dua lelaki yang dibesarkan di sebuah rumah di Kabul. Amir diceritakan sebagai anak orang kaya yang berperasaan halus dan sangat menyukai sastra. Hassan adalah anak pelayan yang pemberani dan loyal.

Persahabatan mereka berlangsung bertahun-tahun dengan bahagia. Puncak kebahagiaan mereka adalah ketika Amir memenangkan turnamen layang-layang tahunan di kota Kabul. Ironisnya, pada hari yang sama sebuah peristiwa memilukan menimpa Hassan dan mengubah persahabatan mereka selamanya.

Amir “menendang” Hassan dan ayahnya, pelayan keluarga Amir selama berpuluh-puluh tahun, keluar dari rumahnya. Namun tindakan lelaki 13 tahun itu telah membuatnya tidak hanya kehilangan sahabat sejatinya tapi juga merenggut kebahagiaannya. Baru pada usia 36 tahun, Amir berkesempatan untuk menghilangkan bayang-bayang kelam yang kerap menggelayutinya pascakepergian Hassan. Berhasilkah?

Di atas kereta api dari Solo menuju Jakarta, gue menangis tersedu-sedu membaca lembar-lembar pertama novel ini. Untung ketika itu waktu menunjuk dini hari. Momen paling menyentuh adalah ketika terjadi perpisahan Amir dengan Hassan.

Tapi jika harus membandingkan, kok, sepertinya gue lebih menyukai novel kedua Hosseini, ya. Mungkin karena ceritanya yang mengangkat nasib perempuan, sementara kalau di Kite Runner yang menjadi sentral adalah laki-laki.

Mungkin juga karena di novel kedua, pemaparan mengenai kondisi Kabul, dan Afghanistan, masa-masa perang begitu gamblang. Jadi bisa sekalian belajar sejarah. Kalau di Kite Runner, banyak pula cerita mengenai kehidupan Amir di AS.

Anyway, terlepas dari hal-hal tersebut, gue menyukai novel pertama Hosseini karena pesannya. Tentang sahabat sejati yang tidak ternilai harganya. Baca, deh, dan lo akan tahu maksud gue :)

Friday, August 22, 2008

Cerita Jeans Kesempitan

Sehari2, termasuk ke kantor, gue paling demen make celana jeans. Sangking seringnya, semua jeans gue sekarang udah belel warnanya. Tapi gue nggak sedang pengen ngomongin warna melainkan ukuran.

Dari SMA sampe kerja setahun dua tahun pertama, kalo nggak salah, gue selalu make ukuran jeans paling kecil. Kalo ukurannya pake huruf, gue pake S. Kalo ukurannya nomer, biasa pake 26 atau 27. Itu aja kadang masih kegedean di beberapa tempat --biasanya pinggul. 

Mangkanya dulu gue lumayan sering permak jeans di vermak lepis (wakakak, ntu bener tulisannya, lho :p). Mulai dari potong bawah doang karena kepanjangan sampe permak pinggul ke bawah. Abis paling enggak nyaman pake jeans kedodoran.

Sekarang kayaknya kasus kedodoran gag bakal kejadian lagi, deh. Yang ada kesempitan. Iya nih, gue dibikin shocked ngliat jeans2 andalan gue satu per satu mulai gag bisa dipake. Yang nomor 27 itu dah gag muat segag muatnya. Yang biasa gue pake nih (nglirik bawah meja :D) harus dengan penuh perjuangan naikin resletingnya. Tinggal si belel abis dan jeans lungsuran dari ibu itu doang yang masih gampang dipakenya.

Ibu pun ikutan nambah gue pusyeng dengan omelannya: "Mangkanya kalo beli jeans jangan kapret2 melulu". Kapret adalah bahasa Ibu buat celana/baju yang pas badan. Emang nasib kudu beli jeans baru. Padahal "cuma" naik lima kilogram, kok, jadi repot begini :p 

Saturday, August 9, 2008

All You Need Is Love?

Lihat blog entry gue beberapa bulan lalu. Dan lihat sekarang gue menyertakan tanda tanya di belakang kalimat itu. Kondisi di salah satu wilayah kehidupan itu membuat gue mempertanyakan kalimat itu.

 

Satu demi satu teman gue meninggalkan kantor. K beberapa bulan yang lalu disusul A seminggu yang lalu. Mengutip kalimat seorang tokoh yang gue baca di Koran Sindo, ketika dia meninggalkan perusahaan karyawan bukan meninggalkan pekerjaannya, tapi dia meninggalkan atasannya.

 

Hmm, apakah betul? Gue nggak tahu. Tetapi ketika kamu sudah tidak berada di antara lingkungan atau pekerjaan yang membuat kamu nyaman, gue setuju pergi adalah solusi yang paling tepat.

 

So, is love is all we need? Kata seorang teman, dia akan pergi ketika kantor tidak mampu lagi menyediakan ruang untuknya berkembang. Lebih lima tahun merasakan suka dan duka dalam pekerjaannya pun tidak menjadi pertimbangan. Ketika sudah banyak syarat terabaikan, sorry, John, sorry Paul, tampaknya gue harus setuju dengan mereka.

Nice To Meet You

Dua minggu lalu, gue melakukan perjalanan ke Semarang dan Jogjakarta. Perjalanan ke luar kota yang pertama setelah (hmmm) awal tahun 2008. Yang melegakan lagi, perjalanan singkat itu ternyata cukup menyenangkan

Gue hanya stay semalam di Semarang. Di sebuah motel di daerah Hanoman. Sayang, tetapi secara sebelumnya gue belum punya temans di kota Lumpia itu, so, one night is better than none.

Malam minggu di Semarang, gue diajak temans dF Semarang (Fauzan, Wira, Agung dan Reni) ke Pecinan. Ramai banget hari itu dengan jajanan dan hiburan a la warga Tionghoa. Agak bingung juga ngliat banyak makanan berbahan dasar b2 yang dijual. Karena nyari aman akhirnya makan siomay aja, lah! Untung enak! Yang istimewa malam itu adalah dessert berupa minuman sirup beragar2 yang maknyus. Lupa deh gue namanya.

Oya, di Semarang gue punya agenda menghadiri acara anak2 dF Semarang yakni menanam tanaman bakau di daerah Pantai Maron. Untuk pertama kali gue ikutan nyebur di lumpur becek dan berpanas2 nanem pohon bakau. Tapi syeru, sih! 

Setelah selesai nanem pohon, Minggu sore gue dan temans dF Yogyakarta (Wiwid dan Pristi) masih ada waktu untuk ngider ditemani temans dF Semarang, Nico, sebelum bertolak ke Yogyakarta. Mau kemana lagi selain Lawang Sewu yang terkenal itu. Hehehe, ternyata auranya mistis beneran, ya. Untung ngidernya sore2.

Abis ke Lawang Sewu, saatnya makan sore berbahan dasar nasi (wakakakak ). Mbah Djingkrak dengan Ayam Rambut Setannya = mantap. Katanya di Jakarta sudah buka cabang, ya, boleh juga tuw dicoba buat nostalgila.

So that day was my last day at Semarang. Terlepas dari gue sudah punya teman2 baru di kota ini, tapi Yogya sudah menunggu. Hari Senin pagi, gue mulai berkantor di kantor perwakilan di Baciro. Sebelum mulai bekerja, Mas Koni dan Ian mengajak sarapan lontong sayur di depan Mandala Krida. Jauh lebih enak dan mengenyangkan ketimbang sarapan roti setangkup dan teh manis 

Setelah seharian kerja, diselingi makan siang di Flamboyan dekat UGM, sore ke malamnya gue baru bersenang-senang lagi. Tapi kalau nginget2 janjian di sana-sini alamat nggak bisa shopping, neh. Padahal nginep di Hotel Mutiara, Malioboro.

 

 

Bener aja, kan nggak sempat shopping. Senin malam janjian sama Kiko di Amplas, dilanjutin makan malam sama Ian di angkringan Pak Man di daerah Tugu. Balik ke hotel sudah jam 10 malam. Selasa sore janjian makan malam dengan Ketut, dilanjutkan janjian sama Wiwid dan dua member dF Jakarta yang lagi di Yogya. Pulang sudah malam. Untung Selasa siang sudah nyicipin SS (Spesial Sambal) yang gue kangenin.

 

 

Rabu gue libur. Tapi dari pagi agenda utama gue di Yogya sudah menunggu yaitu bakti sosial di daerah Sleman pelosok. I didn’t remember the name, but it was close to Mount Kidul. Di panti asuhan tersebut, gue nonton film, melihat penyuluhan kesehatan gigi dan pemeriksaan gigi. Dibandingkan dengan acara di Semarang, acara di Yogya nggak melibatkan lumpur dan panas2an, cuma debu aja banyakan  Anyway, dari dua kali terlibat baksos, walau hanya datang pada saat acaranya, baksos di Yogya inilah yang paling inovatif. 

 

 

Setelah selesai, sorenya gue dijamu di rumah makan bersaung di daerah Sleman juga. Untung di sana gue sempat makan ayam bakar karena pesawat (Lion Air), yang gue tumpangi malam harinya ke Jakarta, sekarang sudah nggak sedia makan gratis! Baru tahu gue. Belum lagi ternyata Lion akrab juga sama yang namanya delay. Cyape deh!  

 

 

Kalau diitung2, ada kali 40 orang temans baru yang gue temuin di Semarang dan Yogya. Ada yang aslinya serupa dengan dunia maya, ada yang aslinya mengagetkan, ada yang aslinya lebih baik daripada yang dibayangkan , ada yang aslinya menyebalkan, but it's nice to meet you all!

Tuesday, July 22, 2008

Serendipity (Lagi)

Alasan kenapa serendipity menjadi topik pekan ini bukan cuma karena pengalaman gue aja, tapi juga karena cerita di hari Minggu itu.

Akhir pekan lalu ceritanya gue nemenin mama menghadiri manasik haji di Kuningan. Sampai siang menjelang hari itu biasa2 saja. Seusai waktu Sholat Dzuhur, mama kembali ke meja kami agak terlambat. Padahal perut udah keroncongan ngliat meja penuh makanan di ruangan sebelah. Datang2 dia langsung berteriak gembira. "Mbaak, sini kenalin teman mama yang sudah 30 tahun lebih nggak ketemu!". HAH?

Perempuan setengah baya itu adalah teman sekolah mama waktu SMP di Batu Jajar (Jawa Barat). Katanya mama sudah kehilangan kontak dengan temannya itu sejak lulus2an SMP. Siapa sangka ketemunya lagi setelah sama2 tua dan sama2 mau naik haji.

Setelah pertemuan itu banyak cerita pun meluncur dari bibir mama. Suami teman mama itu adalah kakak kelas mereka waktu SMP. Suami temannya itu adalah mantan pacarnya mama. Alhasil temannya itu pernah cemburu berat dan musuhan sama mama wakakak. Pantesan waktu diingetin, suaminya berkomentar "Masih suka nyanyi, nggak, jeng?" wakakak. 

Ya ampyun, dunia kok sempit banget, ya! Tapi gue sih senang2 saja ngliatnya. Mama apalagi seneng bener. Mungkin nggak ya gue ketemuan lagi sama teman lama. Teman SD gitu? Indah? Eka? Ilmi? Where are y, gals?! 

Saturday, May 31, 2008

A Thousand Splendid Suns

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Khaled Hosseini
Membaca hobi yang cukup lama gue tinggalkan karena lebih sibuk menonton film. A Thousand Splendid Suns adalah novel tebal pertama yang bikin gue akan kembali betah “berteman” dengan buku.

Novel ini sebagian besar mengambil setting di Kabul, ibukota Afghanistan yang pernah porak-poranda karena konflik berkepanjangan. Oleh seorang penyair Afghan, Kabul digambarkan begitu indah. “Siapapun tidak akan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atapnya, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dindingnya,” kata Saib-e-Tabrizi. Namun bagi Mariam dan Laila, Kabul tidak selalu seindah itu.

Mariam adalah seorang perempuan yang dihasilkan dari hubungan terlarang. Tidak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya dan menerima pelecehan dari ibu kandungnya, Mariam nyaris menjadi perempuan yang tak mengenal cinta tanpa pamrih.

Laila sebaliknya. Dia adalah perempuan enerjik yang besar diantara orang tua yang sangat mengasihinya dan sahabat tercintanya, Tariq. Namun perang yang berkepanjangan memaksa Laila terpisah dengan orang-orang terkasihnya dan nyaris merenggut impian masa kecilnya.

Di Kabul, dua perempuan dari generasi dan latar belakang berbeda tersebut tinggal dan menanggung derita sebagai istri-istri Rasheed. Namun di tengah berbagai tragedi, siksaan berkepanjangan dari suami dan perang, Mariam dan Laila saling membantu menciptakan suka dalam duka mereka.

Waktu ada di toko buku hari itu sebetulnya gue hampir membeli Kite Runner, novel pertamanya Khaled Hosseini. Tapi karena tema gue memilih untuk langsung membaca novel keduanya. Kayaknya, sih, pilihan gue nggak salah.

Novel ini semakin menguatkan pendapat gue bahwa perempuan adalah mahluk luar biasa yang, di tengah tragedi sekalipun, selalu punya cara untuk menemukan kebahagiaan nggak hanya buat dirinya sendiri tapi juga buat orang-orang terkasihnya. Dalam novel ini Laila mengenalkan pada Mariam makna cinta tanpa pamrih. Atas pertolongan Mariam, Laila mewujudkan impian masa kecilnya.

Dari novel ini gue belajar sejarah negeri yang sebelumnya kurang gue kenal. Manis pahitnya kondisi Afghan pada masa kepemimpinan Najibullah, perang antar faksi Mujahidin, kepemimpinan Taliban sampai era pasca penyerbuan AS diceritakan secara gamblang oleh Hosseini. Belajar melalui media kayak gini lebih efektif ketimbang membaca diktat-diktat tebal yang membosankan.

Gue pernah sangat menggemari chick lit. Tapi kayaknya setelah membaca novel ini gue akan lebih sering membaca karya-karya yang lebih berisi dan bermakna.

Friday, May 2, 2008

Milestone

Dari Answer.com:

[n]

An important event, as in a person's career, the history of a nation, or the advancement of knowledge in a field; a turning point.

Dari beberapa minggu terakhir, ada aja berita istimewa dari temen2 seangkatan gue.

Di usia  27 tahun lebih, teman gue memutuskan resign dari pekerjaannya di ibukota dan pulang kampung untuk menyongsong masa depan bersama calon suaminya.

Sahabat gue yang lain, akan menikah dua bulan kurang sedikit sebelum usianya menginjak 27 tahun.

Sahabat gue lainnya, akan dianugerahi anak pertama beberapa bulan menjelang usia 28 tahun. Sekarang kandungan istrinya sudah menginjak bulan kelima.

Gue? Tinggal beberapa jam sebelum menginjak usia 27 tahun, i'm still thinking real hard about my milestone. Hmm, mungkinkah ITU juga bisa disebut milestone? Yah, walau nggak sepenting punyanya temen2 gue.

With or without a milestone, i will turn 27 tomorrow. Happy birthday, me :)

Thursday, April 3, 2008

Jembatan Cinta

Menyebrang di depan kantor bukan pekerjaan mudah. Selain ada jalur-jalur busway, jalanan hampir selalu ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Dan oleh karenanya ketika pulang kantor harus menyebrang maka gue memilih jembatan penyebrangan. Biar pegel dikit, yang penting aman

Tapi entah kenapa walaupun penting keberadaannya jembatan penyebrangan di depan kantor itu sangat kurang nyaman. Gimana enggak, udah tinggi, gelap pulak. Satu lagi, fenomena yang baru gue perhatikan tadi malam, adalah banyaknya pasangan berpacaran di jembatan penyebrangan!

Baru mo naik anak tangga pertama, mata gue langsung ngliat ada pasangan lagi mojok. Tadinya sih ngobrol tapi begitu gue lewat pada diem dan pura2 ngliat jalanan. “Ngapain pacaran di jembatan,” pikir gue. Eh, barusan gue ngomong gitu gue liat lagi pasangan kedua lagi mojok di shelter-nya jembatan penyebrangan yang sama. “Paan seh, neh,” pikir gue lagi. Belum selesai begitu gue mo turun di sebrang gue liat lagi dong sepasang perempuan dan lelaki lagi ngobrol di pojokan menuju tangga turun. Gubraaak!

Gue jadi inget flyover Pasar Rebo yang pernah sering gue lewati waktu masih kuliah di Depok. Kalo nggak salah flyover itu baru selesai dibikin sekitar beberapa tahun yang lalu (belum lama deh pokoknya). Cuma karena cukup membantu mengurai kemacetan dari arah Cijantung dan (sebaliknya) dari arah Cawang, flyover tersebut terbilang cukup ramai.

Lucunya, suka ada aja gitu pengendara motor berpasangan yang dengan tidak bersalahnya berhenti di tengah flyover tersebut dan pacaran di situ. Biasanya sih waktu sudah malam. Gue heran.... mereka liat apaan? Jalan macet? Lampu lalu lintas? Atau tukang jual buah yang berjejer di trotoar?

Do’oh ada-ada aja dhee.... *bingung mode on*

Tuesday, March 4, 2008

Ketika Cinta Bertasbih II

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Kang Abik
Baca buku ini dalam tempo dua hari waktu weekend kemarin. Lebih menarik daripada buku pertamanya! Highly recommended.

Di akhir buku KCB I, diceritakan bahwa sang tokoh utama, Azzam, akhirnya pulang ke tanah air setelah sembilan tahun bekerja sambil belajar di Cairo. Hampir bersamaan dengan kepulangan Azzam, pulang juga Anna dan Furqan dari Mesir.

Di Klaten, tanah kelahirannya, Azzam kembali dihadapkan pada perjuangan hidup yang lainnya, Jika di Cairo "banting tulang" mencari uang buat menghidupi keluarga, maka sekarang untuk mewujudkan kehidupan yang layak buat dirinya sendiri maupun keluarganya. Di antara itu, diceritakan pula usaha Azzam mencari pendamping hidup.

Selain Azzam, KCB II juga masih banyak menceritakan perjalanan hidup Anna dan Furqan. Namun di KCB II kisah hidup Azzam lebih banyak mendapatkan porsi. Mangkanya gue seneng bacanya karena lebih fokus.

Kang Abik kali ini juga berhasil menyajikan plot cerita yang penuh drama. Mulai dari Azzam yang nggak nemu2in jodohnya, hubungan percintaan Anna dan Furqan yang dibumbui oleh dusta, serta cerita orang2 terdekat Azzam yang nggak kalah dramatis.

Karena lebih banyak menghadirkan cerita2 "baru", yang nggak baca buku pertamanya gue rasa nggak bakal kesulitan mengikuti buku keduanya.

Buat sebuah novel yang bertajuk dwilogi, ending-nya is worth to wait. Nggak nyebelin, gituw, walaupun nggak sulit juga untuk ditebak. Yang lebih esensial lagi, gue, lagi-lagi, dapat tambahan ilmu berkat karyanya Kang Abik.

Setelah KCB I dan II, penulis cerita "Ayat2 Cinta" yang lagi heboh filmnya ituw sedang mengerjakan novel terbaru yang akan diberi judul "Dari Sujud ke Sujud". Katanya sih buku tersebut akan bercerita tentang tokoh2 yang kisahnya nggak tuntas di KCB. Layak ditunggu, neh.

Monday, February 25, 2008

That's What Friends Are for

Kata Icha Rahmanti di chicklit "Beauty Case", bacalah testimonial Friendster jika kamu merasa butuh suntikan semangat.

Gue bukannya lagi sedih, tapi inspirasi datang setelah kemarin ketemu Tania dan secara iseng melihat testimonial2 FS yang telah lalu.

Begini testimonial Tancuy yang ditulis lebih tiga tahun yang lalu tentang gue:

""Pertama kali kesan gue waktu kenal dia di UI tuh anaknya kayaknya ringkih.. maklum, udah kurus, udah gitu pas awal masa orientasi ga muncul berhari-hari karena sakit.. jadi baru keliatan   batang idungnya pas udah mau selese masa orientasi 1 minggu.. hehehe! Trus, kita b2 pokonya selalu bersama2 ya cuy.. dimana ada melly, disitu biasanya ada tania.. Paling sejalan d dlm banyak hal; pola pikirnya, orientasi hidupnya, ampe seleranya baik dalam bidang olahraga, musik, maupun masalah lawan jenis.. hehehe! tempat asik untuk bercurhat2an dan bergalaunisasi, soalnya kita ga bakal ember ya cuy.. paling ketawa2 dan bsedih2 ria b2 ya.. hehehe! makanya, saking seringnya terlihat b2, kita jadi dipanggil dengan panggilan yang sama ya cuy.. masuk bareng, lulus  bareng, ampe jomblopun bareng.. ;p parah d pokonya!! nice to have u as my friend CUY!""

Garis bawahi kalimat masuk bareng, dst. Karena sebentar lagi dia akan memasuki fase kehidupan yang baru. You'll be leaving me, cuy!

Anyway, setelah ngobrol ngalor-ngidul terbuka pulak pikiran gue tentang satu hal. Thanks :). Meminjam kata2 Putri pagi kemarin, "That's what friends are for", ya!

Sunday, February 3, 2008

Konser Yang Lain

Gue dapet tiket gratisan nonton konser My Chemical Romance, Kamis (31/1/2008). Supaya enggak bego-bego banget, apalagi gue harus nemenin pemenang kuis detikforum di konser tersebut, mulailah gue browsing di internet guna mencari tahu mahluk apakah itu MCR. Selain itu gue juga nyari referensi dari adik gue yang, ternyata, punya album pertamanya band asal New Jersey itu.

 

Dari satu album, gue sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa MCR adalah band jaman sekarang yang menjual musik yang memekakkan telinga dan tampang2 keren personilnya. Musiknya memang rock yang kenceng. Sedikit mengingatkan gue dengan Greenday jaman album Dookie, walau liriknya lebih vulgar mengutuk kehidupan.

 

Secara terakhir gue nonton konser kerennya Muse, maka di kepala ini mindset gue pun udah ke Matt Bellamy cs. Apalagi harga tiket festival-nya setali tiga uang. Tapi sejak menginjakkan kaki di dalem lokasi konser gue dah punya feeling konsernya gak bakal menyamai Muse. Herannya, tuw konser tiketnya sold-out. Seorang mahasiswa, temannya pemenang kuis detikforum yang beruntung gue kasih tiket sisa secara cuma-cuma, juga ngakuin kalo di calo aja tiket udah abis!

 

Well, mari kembali ke konsernya. Harus gue akui walau dua harian dengerin satu albumnya gue tetep gak mudheng sama lagu2 MCR. Lagu pertama bengong, kedua masih bengong, baru di lagu ketiga vokalisnya, Gerrard Way, nyanyiin lagu yang familiar: I’m Not Okay. Lumayan komat-kamit, lah ini mulut.

 

Di pertengahan konser, gue dibuat kaget ngedenger salah satu lagu mereka yang, kata vokalisnya, tidak masuk ke album2 mereka karena tidak ada tempat. Judulnya Kill All Your Friend. Parah!

 

Herannya walaupun secara lirik sangat “gelap”, tapi banyak bener ABG yang datang ke JCC Plenary Hall malam itu. Waktu gue lagi makan malam gue sempat ngobrol2 sama seorang ibu yang rela antar-jemput anaknya yang baru kelas 2 SMP ke Senayan. Itu cuman satu contoh, karena malam itu ABG2 yang berseliweran bener2 nggak keitung dengan jari. I wonder, tuw ibu dan pengantar2 lainnya, tau nggak, ya, musik dan band model apa yang digandrungi anak2nya?!

 

Anyway, walaupun gak begitu sreg secara musik, tapi harus gue akui stage act-nya MCR lumayan. Tidak mengecewakan. Semua personel main maksimal, walaupun vokalisnya tetep paling menonjol. Staminanya oke, ditandai dengan nggak ada seret2nya dia nyanyi walaupun harus teriak2 sepanjang pertunjukan.

 

Dan lighting-nya keren. Paling tidak terlupakan di lagu Cancer, salah satu lagu yang cukup ramah di telinga ini. Gerrard seperti “dewa” akibat efek lampu yang menyorot sosoknya dari lantai panggung. Very-very nice.

 

Sayang, secara gue nonton dari area festival belakang, gue liat stage act mereka kurang mendapatkan feed back dari penonton. Untuk sebuah tontonan dimana vokalisnya udah maksimal, penontonnya menurut gue rada “dingin”. Heboh kalo lagu yang familiar doang. Kayaknya cuma sebagian kecil doang yang bener2 fanatik sama band ini.

 

Dari 21 lagu yang dibawain MCR malam itu, total, gue cuma familiar dengan tiga lagu (doang). Selain I’m Not Okay, ada lagi Helena dan Welcome to the Black Parade. Selebihnya, clueless. Cancer pun baru gue tahu setelah bertanya ke teman sehari setelah konser tersebut. Kalo nggak gratisan, hampir mustahil gue tonton itu band.

 

Maka kalau gue harus memberi rating, konser MCR cukup dengan rating tiga bintang saja, walau kata penggemar berat MCR, “500 ribu worthed, kok”. Yah, selera orang memang beda2, ya....

Tuesday, January 29, 2008

Cerita Tahun Baru II

Perjalanan ke Bali betul2 menguras tenaga. Keretanya sih nggak ada masalah, tapi kebetean mulai muncul setelah nyampe Ketapang saat nyebrang ke Gilimanuk. Lo, tau kan gue paling sebel menunggu. Dan menunggu nyebrang aja ampe 2 jam! Feri yang lelet makan waktu 1 jam buat nyebrang! Belum lagi bus yang mampir sana mampir sini bikin total perjalanan dari Gilimanuk menuju Denpasar 4 jam! Udah kucel aja gue nyampe Denpasar. Untung begitu nyampe langsung dikasih makan, hehehe.

Nama restonya Warung Mina. Makan ikan bakar. Enak. Makasih, ya, Risya (ditraktir mode on). Setelah makan, teman gue dan tunangannya itu ngajak ke Pantai Semawang di Sanur. Sambil nunggu nyokapnya Risya yang minta dijemput di “kantornya”, gue menikmati pantai yang jauh lebih sepi jika dibandingkan dengan Pantai Kuta itu. The atmosphere I like more. Beberapa aktivitas laut yang bisa dilakukan adalah Jetski dan kano. Di situ juga jual makanan. Salah satunya lumpia goreng. Lumpianya enak, tapi bumbunya gue kurang doyan. Terlalu manis kalo kata gue mah.

Sekitar jam 17.00, akhirnya, kita nyampe rumah Risya. Saatnya mandi dan bersiap2 main lagi malam harinya. Sebelumnya makan malam dulu, ya.

Hari ini kita makan malam di daerah Renon, tepatnya di Warung Bendega. Lagi-lagi pilihan gue ikan lengkap dengan sayur. Hmmm, malam itu gue makan seperti orang barbar alias buanyak banget. Heran. Setelah kenyang saatnya jalan-jalan.

Di Bali, kayaknya cuma Kuta destinasi yang paling menjanjikan untuk menghabiskan malam. Anginnya lagi kencang banget hari itu, jadi kita milih masuk ke dalam Hard Rock Hotel. Katanya Risya, tiap hari Jumat malam, ada live music gratis di lobi hotel tersebut. Yah, walaupun home band-nya (kali, ya) rada norak getu (yang norak sebetulnya dua vokalisnya sih) tapi cukup menghibur-lah.

Abis dari Kuta, tadinya, kita mau menuju Legian, ke café milik keluarga temannya Risya. Tapi hari itu Legian macet luar biasa. Secara udah males liat jalanan yang begitu hectic-nya dan parkir yang begitu sulitnya akhirnya kita memilih pulang.

Hari kedua di Bali, kita memutuskan pergi agak jauhan. Ke Ubud. Eh, tapi sebelumnya ke Sukawati dulu. Belanja sedikit banget buat oleh2 buat para partner kerja yang sudah menjadi “penyelamat” gue selama cuti. Gosh, Sukawati ruame banget hari itu. Untung saja Iyang, yang rajanya belanja, juga nggak beli macem2 hingga sekitar satu jam saja kita di pasar itu. Sukawati menjadi satu2nya destinasi belanja gue selama di Bali.   

Waktu terakhir ke Bali, tepatnya saat outing kantor beberapa bulan yang lalu, gue ingat sempat ke salah satu puri paling terkenal yang ada di Ubud (namanya gue lupa). Dibandingkan dengan Kuta yang metropolis, Ubud lebih kerasa Balinya. Bangunan berukir di kanan kiri jalan, Pura, puri dan bangunan berkebudayaan lainnya bikin tempat itu menarik.

Di Ubud, Risya ngajak ke penginapan milik om dan tantenya. What a place. Cocok buat introspeksi diri. Ciri khas Ubud yang kini ada di kepala gue adalah wilayah dimana banyak terhampar sawah hijau dan daerah asal makanan enak. Namanya Nasi Kedewatan atau yang lebih dikenal sebagai Nasi Guruh (dinamai begitu karena telah menjadi makanan wajib Guruh Soekarno Putra kalo ke Ubud). Nasi Guruh ini nggak terlalu jauh beda sama nasi campur ayam. Tapi gue doyan banget sambelnya (again, gue selalu menemukan sambel yang uenak).

Abis dari Puri Cantik, kita ke Museum Antonio Blanco, yang nggak jauh dari situ. Secara belum pernah ke pameran lukisan, masuk ke dalam sebuah bangunan yang isinya lukisan semua adalah pengalaman pertama yang cukup berkesan. Selain karena belum pernah melihat pameran lukisan sebelumnya, juga karena karya Antonio Blanco yang tidak mudah untuk dilupakan. Seinget gue seluruh karyanya adalah tentang perempuan. Dari bentuk tersopan sampai yang paling vulgar. “Women are my bangles,” said Blanco. “No wonder,” said me.  

Pengalaman pertama ke Museum Antonio Blanco juga membawa cerita memalukan. Moral of the story-nya: dilarang mengambil gambar di dalam museum. Jujur, sebetulnya gue sih dah nyangka tapi kali ini sok nggak tau aja. Apalagi kita sempat salah jalur (masuk dari pintu keluar) hingga tidak melihat larangan itu di pintu masuk. Dan harus seorang pengunjung yang mengingatkan kita yang sedang berfoto2 dengan hebohnya. Hehehe, bandeeel.  

Habis dari museum kita kembali ke kota alias Kuta. A real town lengkap dengan kemacetan luar biasanya. Kali ini kita ke Discovery Mall. Ketemu sama teman2 Iyang dari Yogjakarta. Sayang, Ronald, teman gue yang juga sedang liburan ke Bali, masih di sekitar Uluwatu (seems like everyone goes to Bali, huh). Malam itu diisi dengan makan malam di Black Canyon yang so-so.

Hari ketiga Shelly bergabung. It was the end of 2007. Hari itu diawali dari pagi buta karena kita mengejar sunrise di Pantai Semawang. Sayang, malam sebelumnya Bali diguyur hujan hingga kemunculan matahari tertutup awan tebal. Seorang bule (yang kayaknya punya ide serupa dengan kita) langsung balik badan begitu ngliat awan yang menutupi horizon Semawang. Sementara kita, foto2 dulu tentunya. Hehehe, tetep…

Sebelum pulang, kita nyabu (nyarapan bubur) dulu di daerah lupa. Hehehe. Buburnya lumayan saja buat pengganjal perut. Nyampe rumah Risya lagi kami segera menyusun acara untuk tahun baruan. Dugem? Atau menghabiskan pergantian tahun di tempat yang nggak begitu hectic? Nggak tau, yang jelas mereka memenuhi obsesi gue dahulu yakni ke Dreamland. Yey!

Dreamland ternyata bukan tanah impian seperti yang gue perkirakan. Terus terang, gue kecewa berat ngliat kawasan pantai berpasir putih tersebut. Laut pasang plus penghancuran bangunan café di sekitarnya bikin atmosfer begitu buruknya. “Kayak habis kena tsunami,” pikir gue. Ditambah, panas terik yang bener2 menyengat bikin gue agak malas berlama-lama. Tapi tentu saja berfoto tidak lupa gue lakukan. Hehehe…  

Habis dari Dreamland kita menuju Semawang. Tiduran di tepi pantai sambil berpayung, ngliatin pantai yang ombaknya tenang dan tidak terlalu ramai, enak juga. Ampir gue tertidur. Tapi nggak boleh karena kano sudah menanti.

Oh, gini rasanya bermain kano. 10 menit pertama, gue masih kagok. Kaki masih turun satu karena gue takut keseimbangan tidak terjaga. Tapi setelah nyoba lagi untuk kali kedua (gantian sama Iyang mainnya) gue sudah mulai terbiasa. Bahkan, karena Shelly males basah-basahan, ada kali gue setengah jam main kano sendirian. Oya, biayanya 10 ribu doang sampe puas. Sementara jetski 250 ribu per 15 menit.

Habis dari Semawang kita pulang lagi ke rumah Risya. Tadinya sih sambil mikir mo ngapain lagi kita malamnya. Tapi ternyata nggak ada ide. Kita pun berpikir tahun baruan di rumah Risya ajalah sambil main kembang api. Ternyata setelah makan nasi jenggo (nasi campur) dua bungkus gue terserang kantuk yang luar biasa. Ditambah dengan hujan deras di luar jadilah gue betul2 tertidur sekitar pukul 22.00. Suara cempreng Iyang yang samar2 terdengar mengucapkan “Selamat tahun baru, ya” menjadi satu2nya penanda bahwa gue sudah melewati pergantian dari tahun 2007 ke 2008.

Bangun paling pagi diantara yang lain, hari ini gue pulang. Tiket travel ke Surabaya sudah di tangan. Tapi pagi ini Risya mengajak ke Bedugul melihat kebun raya dan danau. Menurut kalkulasinya masih ada waktu sangat cukup buat pulang pergi Denpasar-Bedugul, mengingat travel gue berangkat jam 18.00.

But everything didn’t go as we plan. Hari itu perjalanan ke Bedugul muaceet cet total. Shelly yang jadi supir pun “dikerjain” polantas sana karena disuruh melewati jalan alternatif melewati perkampungan dan perkebunan jagung (eh, kalau nggak salah, ya). Nggak sampai di situ karena ternyata perjalanan menuju Kebun Raya maupun Danau Bedugulnya (dipisahkan dengan dua pintu gerbang) macet juga.

Makin lengkap setress gue setelah pihak travel dengan tidak sopannya meminta gue bersiap2 di rumah untuk dijemput pada pukul 16.30. How in the hell we got home sementara kita baru nyampe Bedugul jam 13.00 siang (berangkat dari rumah jam 10, lho)? Tambah lemes setelah kita memilih ke kebun raya dulu dan ngliat di dalem kebun raya sekalipun macet belum juga terurai. God. Dah nggak napsu lagi liat kebun raya yang harus gue akui guede banget itu. Alhasil, setelah masuk kita langsung keluar lagi demi mengejar travel gue. Tapi (tetep) harus menenangkan diri dengan makan soto ayam yang rasanya so-so banget deh.

Thanks God, perjalanan pulang tidak semacet berangkat. Terima kasih pula karena ada Shelly yang pengalamanannya menaklukan jalanan ibukota ternyata sangat bermanfaat (jangan ge-er lo, Shel ). Ajaibnya, kita bisa sampai ke rumah tepat pada waktunya. Walaupun gue nggak jadi dijemput di rumah sama travel pertemuan di tempat yang telah dijanjikan pun bisa terjadi. Dan sekitar pukul 18.00 gue sudah berpindah mobil ke travel yang akan mengantar gue ke Surabaya.

Thanks a lot Risya dan keluarga, Iyang dan Shelly atas liburan yang tidak terlupakan. Tapi gue tetep harus balik lagi neh ke Bali. Dari dua perjalanan terakhir ke Bali, masih ada Danau Bedugul yang belum tertaklukkan, gitu juga Pura Besakih, Istana Tampaksiring, Trunyan, Padangbai dst. Till we meet again, Bali




PS: Yangki, teteeep, gue menunggu CD darimyu, critanya udah launching, neeh