Search This Blog

Tuesday, January 29, 2008

Cerita Tahun Baru II

Perjalanan ke Bali betul2 menguras tenaga. Keretanya sih nggak ada masalah, tapi kebetean mulai muncul setelah nyampe Ketapang saat nyebrang ke Gilimanuk. Lo, tau kan gue paling sebel menunggu. Dan menunggu nyebrang aja ampe 2 jam! Feri yang lelet makan waktu 1 jam buat nyebrang! Belum lagi bus yang mampir sana mampir sini bikin total perjalanan dari Gilimanuk menuju Denpasar 4 jam! Udah kucel aja gue nyampe Denpasar. Untung begitu nyampe langsung dikasih makan, hehehe.

Nama restonya Warung Mina. Makan ikan bakar. Enak. Makasih, ya, Risya (ditraktir mode on). Setelah makan, teman gue dan tunangannya itu ngajak ke Pantai Semawang di Sanur. Sambil nunggu nyokapnya Risya yang minta dijemput di “kantornya”, gue menikmati pantai yang jauh lebih sepi jika dibandingkan dengan Pantai Kuta itu. The atmosphere I like more. Beberapa aktivitas laut yang bisa dilakukan adalah Jetski dan kano. Di situ juga jual makanan. Salah satunya lumpia goreng. Lumpianya enak, tapi bumbunya gue kurang doyan. Terlalu manis kalo kata gue mah.

Sekitar jam 17.00, akhirnya, kita nyampe rumah Risya. Saatnya mandi dan bersiap2 main lagi malam harinya. Sebelumnya makan malam dulu, ya.

Hari ini kita makan malam di daerah Renon, tepatnya di Warung Bendega. Lagi-lagi pilihan gue ikan lengkap dengan sayur. Hmmm, malam itu gue makan seperti orang barbar alias buanyak banget. Heran. Setelah kenyang saatnya jalan-jalan.

Di Bali, kayaknya cuma Kuta destinasi yang paling menjanjikan untuk menghabiskan malam. Anginnya lagi kencang banget hari itu, jadi kita milih masuk ke dalam Hard Rock Hotel. Katanya Risya, tiap hari Jumat malam, ada live music gratis di lobi hotel tersebut. Yah, walaupun home band-nya (kali, ya) rada norak getu (yang norak sebetulnya dua vokalisnya sih) tapi cukup menghibur-lah.

Abis dari Kuta, tadinya, kita mau menuju Legian, ke café milik keluarga temannya Risya. Tapi hari itu Legian macet luar biasa. Secara udah males liat jalanan yang begitu hectic-nya dan parkir yang begitu sulitnya akhirnya kita memilih pulang.

Hari kedua di Bali, kita memutuskan pergi agak jauhan. Ke Ubud. Eh, tapi sebelumnya ke Sukawati dulu. Belanja sedikit banget buat oleh2 buat para partner kerja yang sudah menjadi “penyelamat” gue selama cuti. Gosh, Sukawati ruame banget hari itu. Untung saja Iyang, yang rajanya belanja, juga nggak beli macem2 hingga sekitar satu jam saja kita di pasar itu. Sukawati menjadi satu2nya destinasi belanja gue selama di Bali.   

Waktu terakhir ke Bali, tepatnya saat outing kantor beberapa bulan yang lalu, gue ingat sempat ke salah satu puri paling terkenal yang ada di Ubud (namanya gue lupa). Dibandingkan dengan Kuta yang metropolis, Ubud lebih kerasa Balinya. Bangunan berukir di kanan kiri jalan, Pura, puri dan bangunan berkebudayaan lainnya bikin tempat itu menarik.

Di Ubud, Risya ngajak ke penginapan milik om dan tantenya. What a place. Cocok buat introspeksi diri. Ciri khas Ubud yang kini ada di kepala gue adalah wilayah dimana banyak terhampar sawah hijau dan daerah asal makanan enak. Namanya Nasi Kedewatan atau yang lebih dikenal sebagai Nasi Guruh (dinamai begitu karena telah menjadi makanan wajib Guruh Soekarno Putra kalo ke Ubud). Nasi Guruh ini nggak terlalu jauh beda sama nasi campur ayam. Tapi gue doyan banget sambelnya (again, gue selalu menemukan sambel yang uenak).

Abis dari Puri Cantik, kita ke Museum Antonio Blanco, yang nggak jauh dari situ. Secara belum pernah ke pameran lukisan, masuk ke dalam sebuah bangunan yang isinya lukisan semua adalah pengalaman pertama yang cukup berkesan. Selain karena belum pernah melihat pameran lukisan sebelumnya, juga karena karya Antonio Blanco yang tidak mudah untuk dilupakan. Seinget gue seluruh karyanya adalah tentang perempuan. Dari bentuk tersopan sampai yang paling vulgar. “Women are my bangles,” said Blanco. “No wonder,” said me.  

Pengalaman pertama ke Museum Antonio Blanco juga membawa cerita memalukan. Moral of the story-nya: dilarang mengambil gambar di dalam museum. Jujur, sebetulnya gue sih dah nyangka tapi kali ini sok nggak tau aja. Apalagi kita sempat salah jalur (masuk dari pintu keluar) hingga tidak melihat larangan itu di pintu masuk. Dan harus seorang pengunjung yang mengingatkan kita yang sedang berfoto2 dengan hebohnya. Hehehe, bandeeel.  

Habis dari museum kita kembali ke kota alias Kuta. A real town lengkap dengan kemacetan luar biasanya. Kali ini kita ke Discovery Mall. Ketemu sama teman2 Iyang dari Yogjakarta. Sayang, Ronald, teman gue yang juga sedang liburan ke Bali, masih di sekitar Uluwatu (seems like everyone goes to Bali, huh). Malam itu diisi dengan makan malam di Black Canyon yang so-so.

Hari ketiga Shelly bergabung. It was the end of 2007. Hari itu diawali dari pagi buta karena kita mengejar sunrise di Pantai Semawang. Sayang, malam sebelumnya Bali diguyur hujan hingga kemunculan matahari tertutup awan tebal. Seorang bule (yang kayaknya punya ide serupa dengan kita) langsung balik badan begitu ngliat awan yang menutupi horizon Semawang. Sementara kita, foto2 dulu tentunya. Hehehe, tetep…

Sebelum pulang, kita nyabu (nyarapan bubur) dulu di daerah lupa. Hehehe. Buburnya lumayan saja buat pengganjal perut. Nyampe rumah Risya lagi kami segera menyusun acara untuk tahun baruan. Dugem? Atau menghabiskan pergantian tahun di tempat yang nggak begitu hectic? Nggak tau, yang jelas mereka memenuhi obsesi gue dahulu yakni ke Dreamland. Yey!

Dreamland ternyata bukan tanah impian seperti yang gue perkirakan. Terus terang, gue kecewa berat ngliat kawasan pantai berpasir putih tersebut. Laut pasang plus penghancuran bangunan café di sekitarnya bikin atmosfer begitu buruknya. “Kayak habis kena tsunami,” pikir gue. Ditambah, panas terik yang bener2 menyengat bikin gue agak malas berlama-lama. Tapi tentu saja berfoto tidak lupa gue lakukan. Hehehe…  

Habis dari Dreamland kita menuju Semawang. Tiduran di tepi pantai sambil berpayung, ngliatin pantai yang ombaknya tenang dan tidak terlalu ramai, enak juga. Ampir gue tertidur. Tapi nggak boleh karena kano sudah menanti.

Oh, gini rasanya bermain kano. 10 menit pertama, gue masih kagok. Kaki masih turun satu karena gue takut keseimbangan tidak terjaga. Tapi setelah nyoba lagi untuk kali kedua (gantian sama Iyang mainnya) gue sudah mulai terbiasa. Bahkan, karena Shelly males basah-basahan, ada kali gue setengah jam main kano sendirian. Oya, biayanya 10 ribu doang sampe puas. Sementara jetski 250 ribu per 15 menit.

Habis dari Semawang kita pulang lagi ke rumah Risya. Tadinya sih sambil mikir mo ngapain lagi kita malamnya. Tapi ternyata nggak ada ide. Kita pun berpikir tahun baruan di rumah Risya ajalah sambil main kembang api. Ternyata setelah makan nasi jenggo (nasi campur) dua bungkus gue terserang kantuk yang luar biasa. Ditambah dengan hujan deras di luar jadilah gue betul2 tertidur sekitar pukul 22.00. Suara cempreng Iyang yang samar2 terdengar mengucapkan “Selamat tahun baru, ya” menjadi satu2nya penanda bahwa gue sudah melewati pergantian dari tahun 2007 ke 2008.

Bangun paling pagi diantara yang lain, hari ini gue pulang. Tiket travel ke Surabaya sudah di tangan. Tapi pagi ini Risya mengajak ke Bedugul melihat kebun raya dan danau. Menurut kalkulasinya masih ada waktu sangat cukup buat pulang pergi Denpasar-Bedugul, mengingat travel gue berangkat jam 18.00.

But everything didn’t go as we plan. Hari itu perjalanan ke Bedugul muaceet cet total. Shelly yang jadi supir pun “dikerjain” polantas sana karena disuruh melewati jalan alternatif melewati perkampungan dan perkebunan jagung (eh, kalau nggak salah, ya). Nggak sampai di situ karena ternyata perjalanan menuju Kebun Raya maupun Danau Bedugulnya (dipisahkan dengan dua pintu gerbang) macet juga.

Makin lengkap setress gue setelah pihak travel dengan tidak sopannya meminta gue bersiap2 di rumah untuk dijemput pada pukul 16.30. How in the hell we got home sementara kita baru nyampe Bedugul jam 13.00 siang (berangkat dari rumah jam 10, lho)? Tambah lemes setelah kita memilih ke kebun raya dulu dan ngliat di dalem kebun raya sekalipun macet belum juga terurai. God. Dah nggak napsu lagi liat kebun raya yang harus gue akui guede banget itu. Alhasil, setelah masuk kita langsung keluar lagi demi mengejar travel gue. Tapi (tetep) harus menenangkan diri dengan makan soto ayam yang rasanya so-so banget deh.

Thanks God, perjalanan pulang tidak semacet berangkat. Terima kasih pula karena ada Shelly yang pengalamanannya menaklukan jalanan ibukota ternyata sangat bermanfaat (jangan ge-er lo, Shel ). Ajaibnya, kita bisa sampai ke rumah tepat pada waktunya. Walaupun gue nggak jadi dijemput di rumah sama travel pertemuan di tempat yang telah dijanjikan pun bisa terjadi. Dan sekitar pukul 18.00 gue sudah berpindah mobil ke travel yang akan mengantar gue ke Surabaya.

Thanks a lot Risya dan keluarga, Iyang dan Shelly atas liburan yang tidak terlupakan. Tapi gue tetep harus balik lagi neh ke Bali. Dari dua perjalanan terakhir ke Bali, masih ada Danau Bedugul yang belum tertaklukkan, gitu juga Pura Besakih, Istana Tampaksiring, Trunyan, Padangbai dst. Till we meet again, Bali




PS: Yangki, teteeep, gue menunggu CD darimyu, critanya udah launching, neeh