Search This Blog

Thursday, October 23, 2008

Cerita Kulineran di Solo

Ketika lo sedang merasa jenuh dengan pekerjaan, apa yang lo lakukan? Mencari pelarian tentu saja. Kalau untuk gue pelariannya nggak lain dan nggak bukan adalah pergi berlibur.

Tapi secara kantong sedang cekak, gue harus memutar otak untuk mencari pelarian yang murah meriah namun menyenangkan. Pilihannya tentu saja mengunjungi kota dimana gue punya kerabat atau teman. That goes to Solo. Tanggal yang dipilih 16-18 Agustus yang lalu. Iya, ini kisah lama yang baru sempat gue tuturkan. Hehehe. 

Kebetulan, gue telah mendapatkan teman seperjalanan. Kebetulan lagi, teman kita, Donny, berencana pulang kampung setelah kembali dari sekolah di Australia. Asyik, gue kan belum pernah ke Solo.

Oleh karena itu, masih dengan semangat kantong cekak, gue pun menyanggupi ketika Ikhwan, mengajak berangkat naik kereta kelas bisnis. Lagi long weekend, kehabisan tiket, siapa sangka keberuntungan berpihak sama kita.

Seorang pria separuh baya tiba-tiba menawarkan tiket kereta yang kelebihan karena salah seorang rekannya membatalkan perjalanan. Mana ditawari dengan harga tidak berlebih. Cuma satu kursi memang, tapi cukup buat kita karena Ikhwan bersedia membeli tiket berdiri!

Di atas kereta, Ikhwan menemukan keberuntungannya sendiri. Secara kebetulan doi berdiri dekat kursi kosong melompong Ditunggu sampai Cikampek masih belum bertuan juga itu kursi. Di sini sang “dewi foruna” mucul. Di antara orang2 yang sama2 berdiri nggak ada yang mengklaim itu kursi. Boro2 direbutin. Alhasil, dengan modal tiket berdiri, Ikhwan juga bisa tidur pulas sampai Jogja. Hehe, we're so lucky, huh!

Begitu nyampe di Jogja, kami pun segera janjian sama Shelly yang sedang diklat CPNS di Kota Gudeg. Kali ini memanfaatkan jaringan perkantoran :P, gue mampir dulu ke Baciro sekedar untuk numpang mandi dan numpang naruh barang. Hehe, next time mampir bawa “buah tangan”, deh.

Anyway, karena sudah lumayan sering ke Jogja, seusai sarapan di Yu’ Mi kami pun memilih beranjak ke Gembira Loka –objek wisata terakhir di kota Gudeg yang belum gue jajaki. Senangnya ide gue didukung oleh Ikhwan dan Shelly dengan antusias. Mereka memang teman2 yang baik. Hehe.

Setelah mengunjungi area seluas lebih dua hektar hingga lumayan bikin kaki ini pegal, kami pun segera mencari makan siang. Dasar turis lokal yang kurang tahu jalan, kami pun end-up di SS! Hehe ampun, deh, jodoh banget gue sama tuw rumah makan. Tapi nggak tahu deh dengan Ikhwan dan Shelly, yang kayaknya sih tobat nyobain sambal terasi SS yang super pedas.

Abis maksi, Ikhwan mengajak kami mengunjungi Mario –temannya yang kami kenal juga—ke tokonya di daerah Kartodipuran. Sampai sore kami di situ dan baru ngacir dengan perut kenyang diisi waffle dan ice cappuccino setelah Donny mengabarkan kedatangannya di Jogja.

Ketemuan sama Donny di Mall Malioboro, kami pun menuju detik2 perpisahan dengan Shelly. Tapi sebelumnya doi dan Donny nggak tahan untuk nggak nyicip J-Co. Jah, old habit indeed hard to die :P.

Eng, ing, eng, it’s time to say goodbye to Shelly. Kami pun beranjak ke Stasiun Tugu dan menunggu kereta “bermerk” Prameks menuju Solo. Keknya sejam perjalanan saja dan kami pun disambut angin malam Stasiun Purwosari.

Ini dia bagian tak terlupakan di Solo. Ditraktir ketupat opor, tapi terus diajak marathon kiloan meter dari Purwosari ke restoran/motel/rumahnya di daerah Hasanuddin. Kampret, kami dikerjain Donny! Shi Jack susu murni pun nggak bisa menghilangkan kepegalan gue sesampainya di kamar.

Tapi lupakan marathon tadi malam. Paginya gue udah ceria lagi saat diajak Donny berjalan kaki ke Stadion Manahan. Kalo yang ini beneran olahraga karena Manahan di Minggu pagi sama seperti Senayan yang hiruk pikuk dengan orang berolahraga. Tapi kalo kami sih yang olahraga mulut alis makan! Hehe mulai dari nasi liwet, cabuk rambak, kue lekker, sampe tempe goreng jenis yang baru kali ini gue makan (namanya gue lupa) nggak lupa gue cicipin. Jah, inilah seninya berlibur sama teman yang doyan makan.

Sehabis sarapan, masih tanpa Ikhwan yang “ada urusan”, gue dan keluarga Donny (yang terdiri dari, catet, nyokapnya, bude, pakde dan sepupunya) beranjak ke keraton kasunanan. Dari kunjungan ini gue baru “ngeh” sama yang namanya sejarah keraton Jogja, kasunanan Solo, dan pura mangkunegaran. Yang begini bikin gue cinta wisata bangunan bersejarah.

Setelah puas ngider di keraton kasunanan, gue dan Donny (tanpa keluarga doi yang keknya mau wisata kuliner) melanjutkan perjalanan ke Benteng Trade Center yang terletak di luar wilayah keraton. Yes, you guess right, kita ke mall a la ITC. Ngapain di sana? Ngapain lagi kalau nggak ngider nyari yang bisa dibeli. Batik beragam rupa sepanjang mata memandang. Dan gue end-up beli oleh2 sederhana buat ayah di rumah—Ibu ntar aja, deh. Sementara buat gue sendiri belakangan (yah, masih dengan semangat kantong cekak :P).

Pada jam maksi kita ketemuan dengan Ikhwan, yang membawa “temannya” ngider bersama kami. Beli lapis Surabaya di Orion, dilanjutkan makan siang ayam bakar di sekitar Slamet Riyadi—katanya yang enak sih bebeknya, sayang special order-nya udah habis. Yasud, mau kemana lagi, neh?

Wisata bangunan bersejarah lagi, nyok! Tadinya mau ke pura mangkunegaran, tapi mundur setelah melihat sepinya tuw objek wisata. Next time aja, deh! Akhirnya end-up ke Museum Pers –yang sedang ada pameran bertema kemerdekaan—dan Karisma Solo Grand Mall! Hehe, akhirnya buku juga yang nemenin gue berlibur. Tapi sebentar doang karena malamnya giliran wisata kuliner lagi!

Seumur2, baru kali ini gue makan malam sebanyak itu. Diawali dengan opor ceker yang “mak, enak banget” di festival jajanan di depan BTC, dilanjutin dengan timlo yang “enak juga”, dan susu murni favorit orang Solo di penghujung malam. Ni kota memang surga makanan enak!

Tapi nggak tau apakah karena makan kebanyakan tadi malam atau karena kecapekan, hari terakhir di Solo gue tepar!

Iya, setelah sarapan gudeg ceker (tanpa ceker karena dah keabisan), perjalanan melihat Bengawan Solo, UNS (ini tujuannya apa nggak jelas blas cuma ngetes baca peta :P), Taman Sriwedari yang gagal (baca: belum buka), Museum Radya Pustaka yang gagal (baca: tutup) dan BTC untuk pencarian batik terakhir buat Ibu, gue terpaksa dibalikin ke kamar sementara mereka jalan2 sendiri. Gagal deh nglanjutin wisata kuliner dan perjalanan ngliat fosil di Sangiran.

Hehe, kalau kata Donny penyebab teparnya gue karena nggak cocok wisata batik. Maybe, Don, besok2 jangan lagi, deh, mendingan museum atau wisata alam aja :P

Setelah agak mendingan, ternyata saatnya gue dan Ikhwan kembali ke Jakarta tiba. Senin sore itu pelarian sejenak kami berakhir. Dan gue bersiap menghadapi dunia kerja yang menyebalkan. Thanks a lot buat Donny dan keluarga karena sudah menjadi tuan rumah yang baik. Next, kita jalan2 lagi, ya, guys!

*** Ikiiii, foto2nya manaaa?? huhuhu udah launching neh ceritanya ***

Sunday, October 19, 2008

My Blueberry Nights

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Perlu dua kali nonton DVD untuk memahami isi dari film yang dibintangi oleh Norah Jones dan Jude Law ini. In the end, I consider this movie as okay. Untuk pencinta film drama ni film recommended. Tapi yang bukan, mendingan jauh2, deh. Atau kek gue nonton lewat DVD.

Film ini bercerita tentang Elizabeth yang kecewa berat setelah mengetahui dirinya diselingkuhi sang pacar. Di cafe nyaman seberang apartemen kekasihnya, berhari-hari Lizzie curhat dengan sang pemilik, Jeremy.

Namun karena tak kunjung menemukan obat penawar rasa kecewanya, suatu hari Lizzie memutuskan untuk meninggalkan New York. Misinya adalah meninggalkan segala kenangan akan kekasihnya.

Dalam perjalanannya ke beberapa kota Lizzie bertemu dengan beberapa sosok yang mengembalikan kepercayaannya pada cinta. Ada Arnie Copeland, polisi yang masih mencintai istrinya yang selingkuh. Ada Leslie, penjudi kelas berat, dan ayahnya yang sekarat.

Scene favorit gue tentunya adalah obrolan ringan Lizzie dan Jeremy tentang pie blueberry. Everything happens for a reason? Sometimes it's not. Just like blueberry pie.

Hehehe penasaran, gag?

Monday, October 6, 2008

Laskar Pelangi

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Tiga bulan dan kurang dari 200 halaman, dari 494 halaman, novel Laskar Pelangi yang sanggup gue baca. Itu masih ditambah intermezzo dua novel dengan ketebalan “lumayan” yang gue tuntaskan duluan. Tapi setelah menonton filmnya di bioskop pada hari libur Lebaran itu, gue berhasil menuntaskan novelnya dalam tempo kurang dari 24 jam!

Dahsyat juga kekuatan filmnya. Sedahsyat antusiasme orang2 yang membuat kaki ini lemas mengantri tiket pukul 2.30 siang untuk menonton pertunjukan pukul 7.45 malam! Tapi tak apalah, ‘coz this movie is a must seen one!

Seperti novelnya, film besutan sutradara Riri Riza itu bercerita tentang anak2 melayu Belitong yang bersekolah di sekolah reyot bernama SD Muhammadiyah era 1970-an. 10 anak2 itu datang dari latar belakang keluarga serupa (baca: miskin), namun karakter yang berbeda-beda. Laskar Pelangi sendiri sebutan buat anak2 itu dari guru mereka, Bu Mus, karena kecintaan mereka pada fenomena alam yang bernama pelangi.

Ada Lintang, si super jenius anak nelayan daerah pesisir yang setiap harinya harus mengayuh sepeda sejauh kiloan meter hanya untuk sekolah. Ada Mahar –favorit gue—si nyentrik sekaligus seniman cilik yang luar biasa. Lalu tentu saja ada Ikal, tokoh utama yang divisualisasikan sebagai si kurus yang melankolis.

Di bawah bimbingan guru-guru mereka yakni Bu Mus dan Pak Harfan, Laskar Pelangi belajar dan menjalani hari2nya di sekolah sederhana namun menyimpan banyak cerita yang membuat gue rindu kembali ke jaman sekolah dasar dulu.

Seperti gue bilang, sebelum nonton filmnya gue sempat terbosan2 membaca lembar demi lembar novelnya. Entahlah, gue nggak menikmati deskripsi berlebihan sang penulis, Andrea Hirata. Di sinilah filmnya memiliki nilai lebih.

Walau, setelah gue tuntaskan novelnya, cukup banyak cerita yang dipangkas, tokoh2 baru yang nggak ada di novel, bagian2 yang tidak sama, visual yang tidak sesuai dengan deskripsi namun menurut gue filmnya PAS –nggak berlebihan dan tetap bercerita dengan semangat yang sama dengan novelnya. Indahnya masa kecil dan realitas dunia pendidikan di Indonesia bikin ceritanya sanggup dicerna otak ini dengan gampang.

Tapi tentu saja pendapat di atas cuma opini gue. Sebab film tersebut tidak memuaskan, contoh, teman gue sesama penonton yang sudah terlanjur mencintai novelnya. Selalu ada pro dan kontra dari pembaca setia. Kayaknya hakikat film adaptasi memang seperti itu. Tengok saja kasus Harry Potter atau, film2 yang terakhir gue tonton di stasiun televisi swasta tempo hari, Ayat-Ayat Cinta dan Cintapuccino. Memang imajinasi tidak cukup dipuaskan dengan visual semata.

Duh, ngomong apa sih gue barusan, tonton aja deh filmnya! :)