Search This Blog

Monday, November 20, 2006

From Sequel to Prequel

Pernah nonton Starwars episode 1? Atau Batman Begins? Atau, yang teranyar, Casino Royale? Apa persamaan dari ketiganya? Yup, mereka sama-sama berbentuk prequel. Entah apa definsi yang tepat untuk menjelaskan istilah itu tapi kalau dalam bahasa gue artinya kira-kira awal dari cerita.


Dulu, orang mungkin lebih familiar dengan sequel alias lanjutan. Contohnya ada Scream (1 sampai 3) atau I Know What You Did Last Summer. Sequel intinya melanjutkan yang terjadi di film pertama. Tapi semenjak Starwars Eps 1 keluar entah kenapa banyak banget film-film prequal yang ‘tiba-tiba’ aja luncur.


Sebelum Casino Royale yang gue tonton hari Sabtu kemarin bersama Tim Malam Minggu, setidaknya ada Batman Begins yang juga mengaku sebagai prequel. Dan setelah nonton Casino Royale, gue harus bilang kalau prequel ternyata bukan cuma film yang dibuat2 supaya ada, tapi emang penting untuk ada.


Gue bukan penggemar film-film James Bond. Meski begitu gue familiar betul dengan image Bond selama ini. Tapi begitu ngliat Casino Royale image-nya sebagai laki-laki ganteng yang elegan, playboy, dan pintar langsung buyar.


Phisically, Daniel Craig nggak seganteng Pierce Brosnan. Meskipun cukup gagah kalau bertuxedo dia nggak kelihatan elegan. Dia pun nggak playboy-playboy amat. Kalau biasanya hubungan antara Bond dengan cewek-cewek seksi adalah atas dasar nafsu dan manfaat semata, Bond yang ini beneran jatuh cinta sama seorang rekan kerjanya. Lo seolah-olah ngliat film drama romantis deh ngliat mabuk kepayangnya si Bond sama cewek bernama Vesper Lynd ini.


Soal kepintaran si Bond versi Craig ini juga berbeda level dengan pendahulunya. Bayangin, dia nyerbu kedutaan dengan aksi sok Rambo demi mendapatkan seorang pengebom kelas teri! Belum lagi caranya berkelahi tangan kosong dengan orang lain yang terkesan sadis dan ‘kotor’. Satu-satunya yang masih membuat Craig pantas dibilang Bond adalah karena dia berhasil membawakan attitude khas Bond: sombong-nya pas!


Meskipun agak kaget, gue maklum melihat penggambaran Bond mengingat film ini memang dimaksudkan sebagai prequel. Soalnya Royale adalah novel pertama Ian Fleming yang bertutur soal agen MI6 berkode 007 yang kesohor itu. Itulah sebabnya Bond di Royale belum dilengkapi alat-alat super canggih ala Q –meski dia punya perlengkapan P3K yang dilengkapi alat pacu jantung (!) dan Aston Martin DB5 yang super keren. Lah, Q-nya aja belum nongol di film ini.


Bond juga masih ‘bingung’ dengan minumannya. Waktu ditanya Vodka Martini-nya mau diapain (dikocok atau diaduk) dengan ketus dia njawab ‘does it looked like I give a damn?’. Terlepas dari Bond yang ketika itu lagi bete berat karena baru kehilangan jutaan dollar-nya di meja judi, kalau di film terdahulu Bond biasanya langsung njawab ‘dikocok’.


Sebagai sebuah prequel, Royale lumayan oke. Setidaknya setelah ngliat Bond yang ‘nyeleh’ itu gue jadi penasaran untuk ngliat transformasi dia jadi Bond yang elegan kaya Sean Connery atau Pierce Brosnan di film-film selanjutnya. Tapi Royale bukan prequel terbaik.


Di samping Starwars Eps 3, sejauh ini prequal yang paling oke menurut gue adalah The Godfather 2. Film yang bercerita soal Marlon Brando sebelum jadi mafia itu bahkan boleh dibilang inti dari ceritanya. Kalau film ini nggak dibikin kita mungkin nggak akan ngerti kenapa Al Pacino (anaknya Brando dalam cerita itu) bisa jadi mafia yang nggak mengenal belas kasihan. Michael Corleone (Al’s character) thinks just like his father, but acts in a much ‘brutal’ way. Kayaknya banyak orang juga sependapat sama gue karena yang nomor dua dapat Oscar lebih banyak dibandingin yang nomor 1 dan 3.


So, nonton prequel? Yuk!

3 Reasons

Gue bukan movie buff, tapi kalau yang main adalah aktor favorit, gue pasti berusaha untuk nonton filmnya. Dari banyak aktor yang ada di dunia ini ada tiga orang yang membuat gue rela mengeluarkan effort buat nonton film mereka. Tiga orang yang jadi alasan gue suka nonton film adalah Keanu Reeves, Tom Hanks, dan Nicholas Cage.


‘Perkenalan’ gue dengan Keanu terjadi tahun 1990-an. Waktu itu namanya baru booming gara-gara film Speed yang kesohor itu. Kalau dihitung-hitung mungkin ada lebih lima kali gue nonton Speed. Tapi tiap kali habis nonton, gue nggak pernah bosen dengan Keanu. Gentlemen yang ganteng dan gagah itu pun jadi sosok cowok ideal yang gue impi-impikan hadir di kehidupan nyata.


Saking sukanya sama Keanu dulu gue bahkan doyan mengkliping segala hal soal dirinya. Puncaknya, waktu Mas Yoyok ke Australia gue dapet oleh-oleh majalah-semi-biografi Keanu yang bercerita soal dia dari masih kecil sampai sukses gara-gara Speed. Oleh-oleh yang istimewa itu masih gue simpen dengan baik sampai sekarang dan masih gue baca kalau lagi kangen sama Keanu he he he.


Sayang, abis Speed sosok Keanu tenggelam dalam film aneh-aneh yang membuat gue il-feel. Mungkin hanya di film A Walk in The Clouds, Keanu yang kala itu berubah jadi sosok tentara lembut yang penyayang yang membuat gue agak tertarik lagi dengan Keanu. Tapi itu pun gue nonton di televisi.


Not until The Matrix (Reloaded, Revolutions) gue tergila-gila lagi dengan Keanu. Waktu Matrix pertama muncul gue masih nonton via VCD. Kenapa? Karena gue nggak siap nonton film futuristic kayak gitu. You know lah sebelumnya gue HANYA mau nonton film drama di bioskop. Betul saja, gue harus nonton dua kali sebelum ngerti apa itu The Matrix. Ceritanya sebetulnya absurd, tapi Keanu membuatnya jadi keren. I love it!


Waktu Reloaded keluar beberapa tahun setelah film pertamanya, gue pun antusias buat nonton. Gue inget nonton Reloaded sama alumnae 2-3 waktu film itu baru beberapa hari keluar. Telpon punya telpon di mana-mana tiketnya dah habis, dan kita pun coba-coba ngacir ke Kalibata 21 (yang terdekat dari rumah Ria, ‘base camp’ kita waktu itu). Karena nyaris kehabisan, kita rela ngambil duduk di baris terdepan! Can u imagine hampir dua jam nonton sambil ndongak ke arah layar? Pegel banget! Untung filmnya jauh lebih menarik dibandingkan yang pertama. Nggak percuma.


Timing nonton Revolutions nggak sedramatis Reloaded. Kalau nggak salah gue nonton sama Wiwi –fellow Keanu lovers he he he. Film yang antiklimaks karena makin nggak make sense (Masa Neo jadi bisa terbang? ini film Matrix apa Superman?). Gue pun bersyukur karena trilogi sudah berakhir.


O ya, setelah The Matrix, Keanu sempat muncul di Something’s Gotta Give. Di situ dia berperan jadi dokter yang naksir sama aktris utama (Diane Keaton if im not mistaken) yang umurnya lebih tua. Would u believe if I said that awalnya gue nonton film itu cuma karena pengen ngliat Keanu yang tampil sebagai pemeran pembantu? Pengorbanan gue adalah gue rela nonton sendirian. But it’s worth it! Keanu dan filmnya sendiri bagus banget. Film itu sekarang jadi salah satu favorit gue sepanjang masa.


Film Keanu terakhir yang gue tonton di bioskop adalah Lake House tahun ini juga. Seperti kembali melihat Speed, I love him once more. Apalagi lawan mainnya waktu itu Sandra Bullock –lawan mainnya di Speed. Meski kali ini Keanu nggak botak lagi, nggak lagi lari dengan kencang, nggak lagi nyelametin orang-orang, he’s still as charming as he is in Speed.


Beranjak ke aktor kedua, Tom Hanks. Berbeda dengan Keanu, gue baru doyan Tom Hanks setelah nonton beberapa filmnya. Memang gue terkesan waktu dia main di Forrest Gump, tapi baru di Sleapless in Seattle gue baru melihat dia sebagai aktor yang luar biasa. Dia bisa memerankan orang blo’on, orang pintar, jadi komedian, jadi heartthrob.


Forrest Gump dah beberapa kali gue tonton. Tapi gue nggak ingat sama sekali kapan atau dimana pertama kali ngliatnya. But gue cinta banget sama film itu. Forrest Gump adalah film yang sarat makna, menyentuh, meski ada beberapa bagian yang gak masuk akal. Dibandingin filmnya Keanu, mungkin lebih banyak film Tom yang gue tonton. Forrest Gump, Sleapless in Seattle, Saving Private Ryan, Road to Perdition, You’ve Got Mail, Cast Away adalah beberapa film yang masih gue inget jalan ceritanya.


Film terakhir Tom yang gue tonton di bioskop adalah The Terminal. Udah lama banget tuh, waktu masih kuliah. Tom di situ jadi imigran asal negara antah berantah yang stuck di bandara JFK karena negaranya tiba-tiba nggak diakui kedaulatannya sama AS. Cerita film drama komedi romantis ini unik. Sayang, lawan main Tom nggak oke. Antara Tom-Catherine Zeta Jones nggak ada chemistry yang membuat gue trenyuh.


Gue pernah baca buku Forrest Gump 2. Buku itu bercerita mengenai hidup Gump dan anaknya pasca kematian Jenny. Tapi kok sampai sekarang sequelnya belum nongol jadi film ya? Mudah2an segera dijadiin film, biar gue bisa ngliat Tom lagi di layar kaca.


Alasan yang terakhir adalah Nic Cage. Tapi dibandingin Keanu dan Tom, gue nggak mengenal Nic sebaik keduanya. Belum banyak film yang dibintangi dia yang gue tonton. But anehnya yang sudah gue tonton pasti gue suka yaitu Face Off, Con Air, dan City of Angels.


Dibandingin Keanu Reeves atau Tom Hanks, Nic Cage adalah aktor dengan fisik paling memikat. He’s got a pair of beautiful eyes that can melt you. Waktu gue nonton film drama yang dibintangi Keanu, gue nyaris nggak pernah nangis. Tetapi gue nggak bisa menahan tangis waktu ngliat Nic dengan mata sendunya itu cuma ngomong “I brought something for u, but it’s a little bit dirty” ke anak perempuannya di penghujung film Con Air. Yang dipegangnya adalah boneka kelinci yang udah kotor karena baru diajak ‘berpetualang’ lawan penjahat2 jahat sesama napi. FYI: Con Air adalah film action yang banyak adegan baku tembaknya meski soundtrack-nya lagu How do I Life yang sendu.


Gue juga nangis waktu nonton Face Off dan City of Angels. Kalau City bisa dimaklumi karena genre-nya drama romantis, Face Off itu film action! But, seperti kata gue barusan, Nic punya mata yang luar biasa ‘berbicara’. Dan buat gue, artis yang bisa membuat gue menangis, tersenyum, tertawa, berdecak kagum, trenyuh dalam satu waktu itu artis yang bagus. Minggu-minggu ini semestinya gue nonton film terkini Nic yang judulnya World Trade Center. But karena waktu yang pas keinginan gue masih tertunda. But i will watch it.

Monday, November 6, 2006

Being a Gentleman: Is it Hard?

Kata tokoh Adam di film 'Blast from The Past', gentlemen adalah ‘orang-orang yang mampu membuat orang di sekitarnya nyaman’, Adam di film tersebut me-refer pernyataannya untuk seorang tokoh gay di film tersebut. Jadi, meski gay, ia pantas disebut gentlemen karena sikapnya yang begitu menyenangkan

Di kehidupan nyata, apalagi di Jakarta, cukup sulit menemukan gentlemen seperti definisi Adam. Contoh gampangnya kalau kita naik kendaraan umum saja. Nggak jarang di kendaraan umum gue ngliat betapa banyak banget orang (laki-laki, anak muda) yang sulit sekali memberikan tempat duduk untuk orang tua, ibu hamil, perempuan bawa anak, atau golongan lain yang semestinya dapat duduk. Tapi di suatu pagi gue menemukan seorang gentlemen dalam diri seorang ibu paruh baya.

Kopaja yang biasa gue tumpangi dari Cilandak ke kantor pagi itu cukup padat, but I’m lucky to find a gentlemen that offered me a seat. Beberapa meter kemudian si gentlemen itu kemudian dapat tempat duduk lagi, dan ia duduk, sebentar, sebelum seorang ibu paruh baya masuk dan ia kembali berdiri untuk memberi tempat.

Yang bikin gue tertegun, si ibu, yang baru berapa detik duduk itu, langsung berdiri lagi begitu dia ngliat ibu-ibu yang (kelihatannya) lebih tua dari dia masuk ke kopaja. “Duduk bu,” katanya. Geez, gue sebagai anak muda malu banget ngliatnya. Gue pikir dia nglakuin itu karena sudah mau turun, tapi ternyata sampai gue turun di depan kantor, she’s still standing there.

Kalau di atas kendaraan umum gue akui kadang-kadang saja gue bisa berlaku seperti si ibu paruh baya itu. Satu hari di MRT di S’pore gue bisa rela memberikan tempat buat rombongan ibu-ibu baru dateng, meski sudah dapat duduk setelah menghabiskan satu jam berdiri di atas MRT yang padat. Tetapi sekali waktu di kereta api Bangkok-Ayuthaya, gue sulit memberikan tempat buat pasangan kakek-nenek. 

Tapi pernah satu kali gue kecele. Maksud hati pengen ngasih tempat duduk buat seorang perempuan muda ‘hamil’ di PAC 76, dia malah nolak. “Nggak usah,” katanya ketus. “Saya nggak hamil, kok, duduk aja.” Lha, dikasih duduk malah tersinggung si mbak. Padahal mana gue tau kalo bodinya gemuk karena emang gemuk aja.

Kalau gitu, emang sulit ya jadi gentlemen? Waktu masih kuliah gue pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang teman yang kebetulan menjadi penumpang tetapnya Debora. Ini jenis angkutan umum yang peminatnya buanyak banget. Dia bahkan rela nyamperin itu angkutan umum sampai ke terminal Depok demi dapat tempat duduk. Namun begitu dapat tempat dia malah sering ngrasa serba salah sepanjang jalan. Dia bilang pasti ada saja orang yang membuatnya ingin beranjak ngasih tempat. Temen gue bilang, ‘Dilema banget tuh, tapi gue dah capek-capek ke terminal,” katanya.

Ngasi tempat duduk di angkutan umum itu cuma sebuah contoh. Kalau mengacu pada definisi Adam saja, ada banyak banget hal yang bisa membuat kita jadi seperti itu. Menyebrangkan orang, mendahulukan orang lain, mengantarkan pulang sampai ke rumah, juga baru secuil contoh.

Menurut gue being a gentlemen is about paying attention to other people. Lagian di dunia ini mana ada orang yang nggak senang kalau diperhatikan dan dibuat nyaman, sih?

Friday, November 3, 2006

Other than sports

Selain menulis untuk detiksport, gue juga pernah menjajal untuk menulis di kanal lain. Dua tulisan di bawah ini adalah untuk kanal detikhot:

Review Film

Review Kaset/CD