Search This Blog

Thursday, December 6, 2007

My Name Is....

Udah lama banget nggak update blog ini, sementara belum ada ide brilian, jadi sekarang gue mau berbagi cerita yang nggak penting aja, ya, hehehe...

Gara2 di-assign kantor untuk ngurusin website komunitas, jadilah gue beberapa bulan belakangan ini mempunyai teman2 baru dari dunia maya. Belum kenal secara pribadi, tapi kayak sudah kenal lama karena hampir tiap hari komunikasi di forum dan (sama beberapa orang) YM.

Singkat cerita, gara2 berinteraksi sama mereka sekarang gue seakan punya nama panggilan baru (tapi lama). "Eh, je"..., "Ini, lho, je"..., "Gue punya usul, je...". MJ (baca: emje). Keren, ya :P. Berhubung lagi pengen nostalgila, berikut ini sekilas asal-usul inisial keren gue itu (cerita sudah diedit :D).

Jaadi, suatu ketika di jaman masih gue masih SMP kelas dua, gue sedang nonton MTV ( gue masih inget  nama acaranya MTV Jamz dengan VJ (yang doloo kondang) bernama Mike Kaseem. Waktu itu Mike lagi mau present video clip-nya Michael Jackson yang judulnya Jam. Terus ngemeng-lah dia kalau klip ini menampilkan Michael Jordan (idola ogut nieh :P). Nah, di akhir "presentasinya" Mike ngomong, "Sekarang kita saksikan MJ featuring MJ dengan Jam". Abis gitu keluarlah video klip yang menurut gue adalah klip paling t.o.p dari seorang Michael Jackson.

Sounds biasa, ya? Mungkin buat elo, ya, tapi buat gue efeknya dahsyat. Gara2 closing dari Mike Kaseem gue instantly thinks MJ adalah inisial terkeren di seluruh dunia. Kebetulan, nama gue bisa diutak2 jadi ada unsur M plus J-nya. Waktu itu di pikiran gue, siapa tahu bisa sesukses oom Jordan dan oom Jackson (dreaming mode on).

Dari awal inisial itu sebetulnya cuma buat keren2an aja, karena nggak pernah gue dengan pede-nya memperkenalkan diri sebagai MJ. Tapi karena keseringan nulis inisial itu di buku, kertas, paper2 (makalah), sahabat2 gue jadi ikut2an.

Sekarang, karena kadung memakai nama samaran tersebut, teman2 dunia maya pun mengenal gue sebagai MJ. Though i love it, untuk sebagian besar orang gue akan tetap dikenal sebagai Mely, Melcuy, M (baca: em), Mbak, Nduk (Ibu mode on). Whatever you like, deh :D

Tuesday, November 13, 2007

All You Need Is Love

Begitu bunyi status gue di YM dua hari terakhir ini. Selain karena sedang senang dengerin album The Beatles, Love, terutama lagu yang satu itu, juga karena gue sedang butuh suntikan semangat. Kebetulan moral of the story lagu ini lagi cocok buat gue.

Let's make it short. Gue lagi nggak semangat kerja. Lagi sering merasa kesepian. Lagi kehilangan orientasi. Lagi mengalami mood yang kurang baik. Tapi kata John Lennon:

There's nothing you can do that can't be done
It's easy
All you need is love


Ketika lo malas ngantor, all you need is love (terhadap pekerjaan, karena  nggak semua orang seberuntung lo punya pekerjaan)
Ketika lo serumah dengan orang tua yang akhir2 ini makin demanding, all you need is love (kepada orang tua yang udah membentuk lo menjadi manusia yang seperti sekarang)
Ketika lo mulai lelah menunggu Adam Webber pop-up di hadapan lo, all you need is love (kepada Tuhan YME karena telah memberikan banyak sekali anugerah per detiknya)
Ketika lo merasa kesepian, all you need is love (kepada teman2 lo karena telah menjadi "tempat" berbagi tawa dan tangis)

Ini sebetulnya tulisan for turn-on my mood. Tapi semoga juga bermanfaat buat yang baca

Wednesday, November 7, 2007

Wednesday Slow Machine

Gue sebetulnya udah pernah nulis soal ini di blog yang lain, tapi berhubung lagi dengerin lagi di radio jadi bahas lagi boleh ya?! hehehe...

Buat yang tinggal di Jakarta dsk, pasti udah nggak asing dengan program radio yang udah dari jaman baheula ada di KIS FM ini. Wednesday slow machine, dari nama programnya aja udah ketauan kalo program ini hanya muterin lagu2 selow di hari Rabu.

Dari jaman kuliah, ini udah jadi program radio favorit gue. Gara2nya dikenalin sama temen kuliah gue dulu, Tania. Dulu, sama Diana juga (inget gak, Di? :p), kita suka bermelow-melow ria di kosan Diana sambil dengerin ini program, sambil "karaokean". Hehehe, aneh memang, tapi menyenangkan. Bisa melepas stres juga, tuh.

Walaupun tiap Rabu lagu2 yang diputer nggak jauh dari semodel I Can't Smile Without You, Me Minus You Equals Blue, Lady, Feelin, dsb, tapi gue nggak bosen tuh. Emang dasar doyan aja lagu-lagu yang melow. Abis rata2 singable, alias gampang diingat dan dipraktekkan (baca: gampang buat dinyanyiin hehe).

Waktu gue menulis blog ini, penyiarnya KIS lagi muter salah satu lagu wajibnya WSM yang judulnya: "If You Walk Away". Ada yang tahu? Yuuks....

Monday, November 5, 2007

Stardust

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Science Fiction & Fantasy
Akhirnya! Setelah berminggu-minggu nggak liat film yang bagus, neh, satu film yang menyenangkan dan menghibur. Highly recomended!

Dibintangi oleh Charlie Cox (sluuurp, ganteng banget, :P) dan Claire Danes, Stardust bercerita tentang pencarian cinta sejati seorang cowok bernama Tristan.

Tristan sebetulnya naksir berat sama cewek sekampungnya di Wall, Inggris, yang bernama Victoria. Namun sebuah janji yang dibuatnya pada cewek seksi itu justru membawanya pada sebuah perjalanan yang mempertemukannya dengan "bintang jatuh". Lho, kok bisa manusia kenalan sama "bintang jatuh"? Iya, soalnya benda yang satu ini berwujud seorang cewek yang memiliki hati secerah bintang (halah!).

Perjalanan Tristan menjadi seru karena si "bintang jatuh" itu memakai sebuah kalung yang memiliki kekuatan luar biasa (memberi kehidupan abadi dan kekuasaan tidak terbatas). Gara2 itu, dia dan Tristan diburu oleh seorang penyihir (yang diperankan dengan baik oleh Michelle Pfeifer) dan para pangeran haus kekuasaan dari negeri antah berantah bernama Stormhold.

Dalam perjalanan kembali ke Wall, Tristan juga bertemu dengan kapten Shakespeare (yang diperankan dengan briliaaan oleh Robert De Niro), pimpinan kapal pengumpul petir (kayak perompak di lautan tapi bedanya kapal ini beroperasi di awan). Kapten yang diceritakan punya rahasia terselubung itu pula yang menyadarkan Tristan akan cinta sejatinya yang sesungguhnya.

Well, secara tema cerita, Stardust ini mengingatkan gue dengan cerita2 dari negeri dongeng yang sering gue baca waktu masih kecil. Sounds picisan? Yaa, emang sih, rada, tapi karena dieksekusi dengan sangat baik gue merasa sangat terhibur --sama seperti saat gue membaca dongeng Putri Salju dan Cinderella.

Film ini minim efek yang njlimet, tapi, jangan khawatir, kekuatan ceritanya membuat film ini tetaplah sebuah film fantasi yang highly recomended. Apalagi didukung sama lokasi nya yang, asli, bikin gue juga jatuh cinta. Huaa, jadi pengen liat UK!

Warning aja buat yang nggak suka cerita yang berakhir happy ending mendingan nggak usah nonton film ini, dey, bisa kecewa berat. Sebaliknya, bagi pencinta cerita dari negeri dongeng, film ini harus ditonton. Beneran!

Monday, October 29, 2007

Get Married

Rating:★★
Category:Movies
Genre: Comedy
Tadinya males bikin review film ini. Abis standar beth. Tapi berhubung temanya bikin gue gregetan, jadi gini aja, ya.

Secara tema, film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini mirip sama film yang rilis beberapa tahun lalu yang berjudul Pride and Prejudice. Ternyata, dari jaman kuda gigit besi ampe sekarang anak perempuan di seluruh dunia nasibnya sama, ya.

Kalo di PnP, orang tua Lizzie Bennet ngebet nikahin anaknya sama bangsawan tajir untuk nyelametin perekonomian keluarga, di Get Married ini Mae (gitu nama perempuan yang diperankan Nirina ini) dituntut untuk segera menikah atas nama "berkembang biak" dan "meneruskan warisan keluarga". Hhh....

Awalnya sih lucu2 aja, si ortu yang diperankan sama Jaja Miharja dan Meriam Bellina itu berhasil menemukan beberapa cowok yang masih lajang di kampungnya. Profesinya mulai PNS, wiraswasta (yang kata Mae semirip tukang ojek), sampe olahragawan (tukang pukul sih tepatnya).

Tapi filmnya berubah ke arah nggak lucu seiring dengan kehadiran seorang cowok tajir-sopan-menawan yang punya nama Randy. Walaupun harus gue akuin Randy sukses bikin mata ini betah ngliatin layar bioskop, tapi perpaduan antara akting dan perannya yang jadi prince charming tanpa cela yang bikin males.

Ngomongin penokohan lagi neh, gue kok nggak puas sama Aming, Ringgo, maupun Desta --yang jadi soul mate-nya Nirina di film ini. Gue ngliatnya, kok tanggung2 semua yak. Aming tanggung stress-nya, Desta tanggung jawa-nya, Ringgo? ceritanya petinju gagal, tapi kok loyo banget ye. Padahal di film yang judulnya Jomblo (gue kasi empat bintang tu film) Hanung sukses nyari aktor2 yang cocok buat meranin keempat tokoh utamanya.

Yang minus lagi, adegan tawurannya. Do'oh, film kok malah ngajarin orang untuk nyelesein masalah sepele dengan tawuran. Nggak bener banget. Belum selesai neh kekecewaannya karena ending-nya maksa. Masa sih kayak dongeng masa lalu. Mae nikah sama prince charming-nya and they live happily ever after.

Hhhh *menghela napas* capeee dheeee nonton film yang moral of the story-nya model begini lagi. Jadi pengen liat, film yang nyeritain anak laki-laki yang dituntut segera menikah sama orang tuanya. Kalau ada kasi tau gue yaaa.....

Saturday, October 27, 2007

Missed Call

Missed call... kalo kata handphone gue artinya panggilan tak terjawab

Missed call.. kalo kata temen gue artinya panggilan kangen (=miss call gitu ganti )

Jaman dulu, ada tuh temen gue yang doyaaaan banget missed call. Sangking seringnya, tiap kali ketemu, pasti selalu ada pertanyaan "Ngapain lo missed call tempo hari?", dan, nggak heran, kalo jawabannya antara tiga ini doang....

pertama, kangen (ini udah pasti bokis....)

kedua, ngecek SMS masuk apa enggak (logis, tetapi hanya kalo gak lama kemudian gue beneran terima SMS dari yang bersangkutan)

ketiga, iseng (jawaban yang selalu membuat gue aaaarghh *esmosi)

Untung, sekarang temen gue itu udah kembali ke jalan yang benar... tapi, eh, tapi, ternyata hari gini masih ada mahluk yang doyan missed call.

Hmm, enaknya diapain yaa?

Thursday, October 25, 2007

Sebuah Kata Bernama Takdir

Siang ini di kantor gue dikejutkan oleh SMS seorang temans soal temans lainnya. Isinya:

"Mel, tolong umumin dong di milis klo Ratih kakaknya Wulan nggak jadi nikah Sabtu besok karena calonnya meninggal...."

Reaksi pertama gue setelah baca jelas terkejut. Duh. Lalu sibuk meng-SMS balik dengan hati galau. Lalu melaksanakan permintaan Wiwi. Bayangin, pernikahan sedianya dilangsungkan tanggal 27 Oktober yang berarti dua hari dari sekarang. Dan beberapa minggu yang lalu pun secara nggak sengaja gue ketemu calon pengantin perempuan yang terdengar sangat bahagia dengan rencana-rencananya. Tapi Tuhan rupanya berkata lain.

Ratih, if you ever read this writing, I am really sorry for your lost

Wednesday, October 17, 2007

Joker

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Valiant Budi
Gue nggak terlalu hobi baca novel dalam negeri. Pengecualian buat novel-novelnya Icha Rahmanti yang memang cocok dengan selera gue. Tapi novel berjudul Joker ini berhasil mencuri perhatian gue –ditandai dengan habis dibaca dalam tempo beberapa jam saja.

Ada dua tokoh sentral di novel bikinan Valiant Budi ini.

Brama, 22 tahun, seorang penyiar di sebuah radio terkenal di kota Bandung. Pemuda baik-baik, berbakat, nggak neko-neko, punya adik perempuan yang sangat disayanginya. Dari SMA terobsesi dengan seorang perempuan bernama Mauri.

Alia, 22 tahun, penyiar juga di radio yang sama dengan Brama. Perempuan berhasrat seksual tinggi. Berkarakter penggoda, gaul, namun sangat kesepian. Penggemar pria-pria chubby.

Supaya nggak berisi spoiler, gue cuma bisa bilang novel ini bercerita soal perjuangan dua tokoh tersebut untuk meraih kebahagiannya. Buat Brama arti kebahagiaan tentu saja memiliki Mauri, sementara Alia menghabiskan sisa hidup dengan pria yang tepat untuk mengisi kekosongan di hatinya. Siapa yang sukses? Itu harus dibaca sampe bab terakhirnya.

Terus kenapa judulnya Joker? Kayaknya itu nggak terlepas dari tema novel ini. Yang pernah tahu novel-novel psikologis macam Sybil atau The Minds of Billy Milligan, nah, Joker pun bicara soal kepribadian ganda. Bedanya, kalau Sybil dan Billy kisah nyata, ini kisah rekaan alias fiksi.

Two thumbs up buat pengarangnya. Sesuai dengan deskripsi dirinya sendiri di sampul belakang novelnya: Valiant benar-benar dapat mengubah sesuatu yang absurb menjadi nyata. Ceritanya mengalir, lumayan lucu, dengan banyak idiom pe-radio-an yang membuat gue kangen dengan masa-masa masih aktif di radio kampus. Halah! Tapi yang paling brilian adalah ending-nya yang mengejutkan.

Biar di luar negeri tema kayak gini mungkin biasa, tapi di Indonesia kayaknya baru novel ini yang baik mengangkat tema yang di luar pakem sekarang - yang bicara cinta klise melulu. Oya, novel ini tidak recommended buat pembaca yang belum 17 tahun.

Hmm, mencari kekurangan, maka kekurangan novel ini cuma satu: kurang tebel hehehehe. Coba cerita soal Brama dan Alia ini dieksplor lebih dalam, dengan konflik yang lebih banyak, pasti bikin gue tambah gregetan. Anyway, meminjam idiom yang dipopulerkan Indi dan Indra, novel ini "bagoeess....".

Silaturahmi dan Idul Fitri

Ada banyak banget hal yang gue sukai saat menjelang Idul Fitri. Selain ibadah-ibadah kayak puasa wajib dan shalat tarawih, yang juga kerasa asyiknya adalah silaturahmi dengan orang-orang.

Kedengaran sepele sih, tapi buat banyak orang pastilah Ramadhan jadi bulan silaturahmi dengan keluarga dan temans yang paling mantap.

Momen silaturahmi yang umum adalah buka puasa bersama. Buat gue, momen tersebut jadi momen paling sempurna buat menjalin hubungan yang terputus karena kesibukan masing-masing. Buka puasa bareng juga bisa menjadi momen untuk mempererat silaturahmi yang udah terjalin baik selama ini. Dengan buka puasa bareng gue jadi kabar terbaru si A, rencana si B, sampe gosip tentang si C  

Istimewanya, ketika momen buka puasa bareng nggak sukses mempertemukan gue dengan orang-orang tersayang, Idul Fitri tetap punya cara untuk menjalin silaturahmi yang terputus. Caranya? Ya, lewat SMS.

Gue lupa dari kapan ya SMS jadi moda komunikasi yang paling gue (dan mungkin jutaan orang) senangi menjelang Idul Fitri. Padahal, dulu, andalan gue adalah kartu lebaran. Tapi sekarang kirim kartu lewat pos udah nggak praktis, kirim e-cards (kartu lebaran elektronik) juga sama – walau masih gue pake juga buat ngirim ucapan selamat ke temans yang tidak terjangkau lewat SMS atau temans/relasi yang nggak deket.

Anyway, back to SMS. Ada yang suka perhatiin nggak ada pengirim SMS yang suka menyertakan namanya di akhir ucapan Selamat Idul Fitri? Memang nggak semua orang begitu (mungkin karena yang dikirimi hanya yang dikenal aja), tapi ada banget temans yang ngirim SMS lebaran pake embel-embel, nggak cuma “gue”, tapi “gue dan dia” atau “gue, istri atau suami dan anak”.

Dan dari situlah gue tahu kabar terbaru teman-teman tersayang. Misalnya, gue jadi tahu nama putri kecilnya Adit (Rana), cewek terbarunya Ogie (Aline), calon istrinya Allpins (Tiny) sampe pangkat suaminya Alin (Letnan Satu Hendra). Idul Fitri memang momen paling menyenangkan sepanjang tahun.

So, biar telat, gue mau ngucapin selamat Idul Fitri 1428 H buat semuanya. Semoga ibadah di bulan Ramadhan bisa mengantarkan kita kembali ke fitrah. Dan semoga tahun depan masih ketemu Idul Fitri lagi. Amin

Monday, October 8, 2007

Disturbia

Rating:★★
Category:Movies
Genre: Mystery & Suspense
Tertarik nonton (untungnya di DVD doang) gara2 ada temans nonton film berjudul Disturbia ini sampe tiga kali. Eh, gue kok nonton sekali aja nggak selesai.

Bercerita tentang seorang remaja labil bernama Kale, yang harus menjalani tahanan rumah karena nonjok guru bahasa Spanyolnya di sekolah.

Terperangkap di rumahnya sendiri selama tiga bulan, Kale pun dipaksa untuk mencari kegiatan yang positif guna mengisi hari2nya. Tapi mulai dari main game, mantengin channel tv bokep sampe nge-net nggak sukses mengusir kebosannya (juga karena akses ke semua itu diblok sama ibunya :D).

Sampai akhirnya Kale menemukan aktivitas mengintip kegiatan para tetangganya lewat teropong sebagai pembunuh waktu yang menyenangkan. Dari awalnya ngintipin aktivitas cewek seksi yang baru pindah ke sebelah rumahnya, Kale menemukan bahwa nggak semua tetangganya seasyik Ashley --nama cewek seksi itu. Soalnya salah satunya adalah pembunuh berdarah dingin.

Ketidakpuasan pertama gue terhadap film yang kalo nggak salah sampe hari ini masih diputer di Blitz itu adalah karena plotnya. Bayangin, satu setengah jam pertama kita masih disuguhi oleh aktivitas mengintip Kale ke jendela kamar dan rumah Ashley. Boring!!

Baru setelah Kale mendapati bahwa salah satu tetangganya punya ciri2 pemangsa perempuan berambut merah yag lagi dicari2 polisi, plotnya agak naik sedikit. Tapi karena gue keburu il-feel yang ada "investigasi" Kale, Ronald (sahabatnya Kale), dan Ashley kebawa membosankan. Itu masih ditambah dengan "kejar2an" ala Hollywood sebagai puncaknya, yang ditandai dengan perkasanya itu pembunuh walaup udah dipukulin sampe dijatuhin dari lantai dua rumah! Di ujung kebosanan, gue pun memutuskan untuk berhenti nonton sebelum selesai.

Well... gue nggak pernah suka nonton horor, misteri, suspense dan sejenisnya dan film ini sama sekali nggak mengubah opini gue.

Thursday, October 4, 2007

Mulai Kehilangan

Akhir2 ini mulai kehilangan rasa untuk menulis. Entah di diary elektronik (baca: laptop) di rumah, di kantor, atau MP.

Kalaupun menulis pasti pendek2. Atau bikin kalimat2 pendek berima kayak puisi. Padahal kan gue paling parah kalo bikin puisi. Hmmm... padahal (lagi) dari dulu gue doyan banget menulis panjang. Rasanya nggak puas gitu kalo nulis pendek2.

Kenapa ya? Mungkin berkaitan dengan kerjaan gue sekarang yang lebih membutuhkan kejelian mata dibandingan sense untuk menulis. Mungkin juga karena kehidupan akhir2 ini yang soo flat kayak papan triplek. Atau bisa juga karena gue nggak melihat, mendengar, atau merasakan hal2 menarik akhir2 ini.
Tuh, kan, sekarang aja gue nggak tau lagi mo nulis apa. Kasian banget, dhee

Tuesday, September 25, 2007

Ketika Cinta Bertasbih

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Kang Abik
Ketika Cinta Bertasbih ini buku kedua karangan Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy) yang selesai gue baca. So, mau nggak mau cuma bisa dibandingin dengan Ayat-Ayat Cinta, neh, review-nya.

Ketika Cinta Bertasbih bercerita soal mahasiswa Indo bernama Azzam yang sedang kuliah di Kairo. Nggak seperti pelajar kebanyakan di LN, yang murni belajar, Azzam memiliki tanggung jawab yang menuntutnya bekerja keras di Kairo. Alhasil dia malah sibuk berjualan tempe dan bakso, sampai-sampai kuliah S1-nya molor hingga sembilan tahun.

Selain Azzam, ada lagi cerita tentang Furqan, yang nasibnya 180 derajat beda sama Azzam. Udah S2, tajir, berahlak baik, ganteng pulak. Furqan pun punya kans besar menyunting bintang kampus Al Azhar, Anna, yang ternyata juga ditaksir oleh Azzam. Terus ada juga cerita soal Fadhil, adiknya Fadhil, Cut Mala, Hafez dll.

Kisah hidup Azzam, Furqan, dan beberapa tokoh yang lain menghias dwilogi yang, sama seperti Ayat-Ayat Cinta, sarat dengan penuturan akan nilai-nilai Islami.

Secara cerita, Kang Abik masih mengambil setting Kairo yang mantap deh penggambarannya. Sama seperti pada buku pertamanya yang gue baca, banyak pengetahuan pulak yang yang dapat dari buku ini. Tetapi, kalau dibandingin sama Ayat-Ayat Cinta, gue pikir novel ini agak kalah sedikit.

Pertama, ini buku dwilogi, so, ceritanya gak tuntas --hal yang gue nggak begitu suka. Kedua, terlalu banyak tokoh yang diceritain, so, menurut gue, gak fokus gitu ni buku ceritanya. Ketiga, kok gue agak terganggu ya dengan beberapa detail (misalnya penyebutan gelar dosen-dosen Al Alzhar) yang menurut gue gak penting disebutkan berkali-kali.

Terlepas dari kekurangannya, tapi gue tetep senang baca buku yang ini. Cara Kang Abik bertutur tentang manusia-manusia yang kadang bikin kadang bikin gue gemes sendiri. Iya, gemes ngebayangin ada gitu orang yang sedemikian "lurus" di bumi ini. Untungnya, tiap kali, Kang Abik selalu menyelipkan pesan "nggak ada orang yang sempurna" di buku2nya. Gue jg kagum sama kefasihannya soal banyak hal tentang Mesir. Satu lagi, ending buku2nya selalu gak mudah ditebak.

Kalau harus memberi rating maka bintang tiga gue pikir cukuplah buat Ketika Cinta Bertasbih. Tapi, tetep, gue penasaran pengen tahu ending kisah ini.

Sunday, September 16, 2007

Music And Lyrics

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Comedy
"Melodi itu seperti ketemu seseorang pertama kali. Itu adalah ketertarikan fisik. Seks. Tapi ketika kamu ingin mengenal seseorang lebih dalam, itulah lirik. Kombinasi keduanya yang membuat lagu punya magis.”

Itulah secuplik kalimat yang nyantol di kepala setelah nonton Music and Lyrics, waktu iseng di akhir pekan.

Dibintangi pasangan raja dan ratu genre drama komedi romatis, Hugh Grant dan Drew Barrymore, ekspektasi akan sebuah film yang paling nggak menyamai Wedding Singer membuncah. Sayang, yang terlihat adalah drama komedi romantis standar yang terpaksa gue kasih tiga bintang.

Alex Fletcher, seorang penyanyi pop paruh baya yang karirnya mulai menurun. Sophie Fisher, seorang tukang urus tanaman yang memiliki bakat terpendam sebagai penulis lirik.

Suatu saat, Fletcher, yang sedang berjuang untuk mengembalikan pamornya, diberi proyek membuat sebuah lagu buat seorang penyanyi muda yang sedang "naik daun". Nggak sanggup bikin sendiri, akhirnya Fletcher mencoba untuk meminta bantuan Fischer. Eh, siapa sangka, tidak cuma lirik lagu, penyanyi yang selalu mengandalkan goyang pinggul jijay-nya itu pun berhasil mendapatkan cinta Fischer.

Secara gue pengamat setia Drew Barrymore, agak kaget juga ngliat doi ternyata bisa nyanyi. Walaupun suaranya nggak seistimewa Nicole Kidman tapi nggak jelek-jelek banget. Dibanding dengan Mad Love, Never Been Kissed, Wedding Singer, atau 50 First Dates, gue suka banget ngliat dia dengan rambut brunette-nya. Terlihat lebih segar dan cantik.

Nggak kalah mengagetkannya adalah penampilan Hugh Grant yang ternyata pantas disebut aktor serba bisa. Walau suaranya standar, yang bikin gimana gitu adalah kemampuannya bermain piano yang ternyata cukup lumayan. Dan di usianya yang telah menginjak 40 tahun lbh, he’s still looks damn gorgeous!

Kalau nggak salah inilah pertama kali Drew dipasangkan dengan Hugh. Biar gitu chemistry-nya cukup oke, walaupun nggak sebagus kalau Drew sama Adam Sandler. Tapi entah kenapa, ya, kok gue nggak ngrasa terkesan sama filmnya.

Sampai mereka berdua berhasil nyiptain Way Back Into Love, gue merasa cukup terhibur. Tapi perasaan itu langsung berubah menjadi bete begitu mereka terlibat hubungan badan. Gimana ya, menurut gue terlalu cepet aja. Berikutnya hampir gue tinggal tidur. Untung, belum sampai tidur, penghujung ceritanya mampu membuat gue “terbangun”.

Anyway, gue nggak kecewa, sih, nonton film ini setelah sekian lama penasaran. Tapi terus terang gue berharap lebih baik daripada yang gue tonton sekarang.

Thursday, September 13, 2007

Benci Dingin

Gue alergi dingin. Dan hari ini ac kantor begitu menyiksa. Dalam keadaan perut kosong karena puasa, dinginnya pun makin kerasa. Mana nggak bawa sweater atau jaket, lagi.

Buka jendela pun nggak sukses bikin bulu kuduk yang udah merinding ini kembali ke asal. Duh, gue benci dinginnn!
Huaaa..... cobaan berat..... sabaar.... sabaaar.....

Tuesday, September 11, 2007

Ketut's Inn =D

Akhir pekan kemarin, selama tiga hari dua malam, gue berkunjung ke Yogjakarta. Selain ada keperluan pernikahan teman sekolah, sekaligus mengunjungi Ketut.

 

Waktu dia masih berkantor di Jakarta, Ketut adalah sahabat gue. Sebab itu gue, yang sangat susah membuka diri sama orang, kehilangan banget waktu dia memutuskan pindah ke Yogja karena mengikuti suami.

 

Sekarang, perempuan Bali yang bernama lengkap Ni Ketut Susrini itu sudah punya rumah sendiri di Yogja. Baru beberapa minggu selesai dibangun, dan gue adalah tamu pertama di rumah barunya!

 

Waktu pertama kali ke rumahnya, gue dibikin kaget saat mendapati betapa jauh rumahnya. Butuh waktu 30 menit bermotor dari pusat kota Yogja. Sayegan itu istilahnya Yogja coret, deh, kayak Bekasi atau Depok dari pusat kota Jakarta.

 

Tapi Ketut punya alasan tinggal di “luar kota”. Katanya “Aku suka di sini karena sejuk.” Pernyataan yang nggak salah sama sekali karena iklim di sekitar rumahnya mendukung banget buat beristirahat.

 

Layaknya keluarga muda lainnya, rumah Ketut juga masih sederhana. Waktu lagi ngobrol di ruang televisi mininya, kita berdua nggak bisa nggak ketawa waktu menyinggung betapa pamernya dia saat rumahnya sudah bergenteng. Begitu pun waktu dia baru bikin dapur, yang belakangan aja gitu dibikinnya setelah dia dan suami pindah ke sana.

 

Anyway, selain rumah dan status, nggak ada yang berubah dari Ketut. She’s still as nice as she used to. Gue dikasi kamar berkasur nyaman dan ber-bed cover tebal. Gue dimasakin –walau rasanya lumayan aja ya, Ketut, hehehe. Gue dianterin jalan-jalan kemana gue mau –walau  kadang nyasar :P. Singkatnya, I had a good time.

 

Kemarin, waktu pisah di stasiun, dia mengundang gue lagi ke rumahnya. “Nanti kalau rumahku udah ada sofanya, atau dapurnya sudah sempurna, atau jalan ke rumahku sudah diaspal, aku kasih tahu kamu,” katanya sambil cengar-cengir.

 

For sure, gue nggak keberatan berkunjung lagi ke Ketut's Inn =D

Tuesday, July 24, 2007

Nasib Mantan Atlet

Kalau ngliat nasib mantan atlet di Indonesia, suka prihatin. Gimana nggak? Baca ini deh.

Nasib Mantan Atlet
Dahulu Jaya, Kini Merana
Meliyanti Setyorini - detiksport



Sukarna (Detiksport/Meliyanti)

Jakarta - Wajar jika atlet tidak menjadi profesi yang populer di Indonesia. Bagaimana tidak jika profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Untung pemerintah sudah mulai peduli.

Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas adalah para mantan atlet yang pernah berjaya di masa mudanya. Sukarna merupakan peraih medali perunggu cabang lempar lembing di Asian Games 1958 di Jepang. Surya Lesmana merupakan mantan pesepakbola top yang pernah wara-wiri di tim "Merah Putih" era 1963-1972. Prestasinya antara lain, juara Merdeka Games tahun 1968, Kings Cup di Bangkok tahun 1969 serta Lions Cup di Singapura pada tahun 1970.

Budi Setiawan pun pernah mengharumkan bangsa di luar negeri. Dia tercatat sebagai juara dunia tae kwon do di Spanyol pada tahun 1989. Dia pun meraih medali emas SEA Games 1987 di Jakarta. Sementara Nico Thomas adalah mantan juara dunia kelas terbang mini versi IBF tahun 1989. Namun demikian setelah masa jayanya sudah lewat, tidak ada cerita bahagia seperti dulu.

"Sekarang pekerjaan saya adalah buruh tani. Tetapi karena nggak punya sawah maka saya menggarap sawah orang lain. Kadang, untuk mencukupi kebutuhan hidup, saya juga nyambi jadi kuli," tutur Sukarna dalam acara pemberian rumah pada 44 atlet dan mantan atlet di salah satu restoran di bilangan Senayan, Jakarta, Kamis (7/6/2007).

Sama seperti Sukarna, Surya Lesmana, Budi Kurniawan dan Nico Thomas juga terlunta-lunta di masa tuanya. Bahkan Budi pernah menggadaikan medali yang diperolehnya di salah satu kejuaraan yang diikutinya demi anak. "Tahun 1989 saya menggadaikan medali dan piala yang saya lupa apa karena anak saya sakit. Waktu itu saya jual seharga Rp 150 ribu," ungkapnya.

Bukan cuma keempat mantan atlet tersebut yang setelah masa jayanya lewat hidup memprihatinkan. Selain mereka ada juga mantan atlet yang sekarang bekerja sebagai tukang ojek, pengantar surat bahkan tidak punya pekerjaan alias menganggur. Banyak di antara mantan atlet yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak memiliki rumah dan tidak punya uang untuk mengontrak. "Saya sekarang tinggal menumpang di rumah teman. Tidurnya cuma beralaskan kardus," aku Surya Lesmana. Sementara Nico, yang tidak punya pekerjaan, masih tinggal di rumah kontrakan.

Untunglah, setelah lama terabaikan, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sudah mulai "melirik" para mantan atlet tersebut. Bulan September tahun 2005, Kemenpora bekerja sama dengan Kementrian Perumahan Rakyat pimpinan Muhammad Yusuf Ashari menandatangani MoU program 1000 rumah untuk para atlet dan mantan atlet. Realisasi berupa rumah seharga Rp 100 juta pun sudah mulai dibagikan pada hari ini --walaupun baru berupa simbolis-- kepada 44 atlet.

"Sekarang 44 rumah dulu karena sisanya akan diseleksi. Soalnya yang daftar banyak banget," ungkap Adhyaksa. Tahun ini pemerintah mengharapkan 100 rumah sudah dibagi-bagikan. Jumlah tersebut diharapkan makin bertambah di tahun-tahun mendatang. "Karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas cuma bisa segini dulu. Tahun depan 200 rumah saja sudah bagus. Mudah-mudahan bisa," tandasnya.
Itikad baik pemerintah, walaupun kecil, pasti berarti buat para mantan atlet. Kini setidaknya sebagian kecil dari mereka bisa merasakan kebahagiaan tak cuma di masa muda melainkan juga tua. ( mel / lom )

Capello

Dari banyak pelatih sepakbola ngetop di dunia ini, Fabio Capello mungkin layak disebut sosok yang paling kontroversial. Biar banyak menuai kecaman, dia tetaplah pelatih hebat dengan segudang prestasi

Tuesday, April 3, 2007

Perdana

Foto-foto perdana gue di detikfoto. Sayang, datangnya telat, jadi cuma segini ini yang bagus (menurut gue dan uploader :-P).

Jean 'Ferrari' Todt di Jakarta

Sunday, January 28, 2007

Official: Mel Jadi Tante

Tanggal 24 Januari  pukul 08.20 WIB, handphone gue berdering. Dari 0819xxxxxxx. Nggak kenal, tapi angkat saja ah. Eh, ternyata dari Ibu.


Dengan nada super gembira, beliau mengabarkan bahwa kakak iparku (Mbak Novi) baru saja melahirkan. Bayi perempuan seberat 3,70 kg dan panjang 48 cm. “Panggilannya Gadiz,” kata ibuku.


Selanjutnya, telepon diberikan ibu kepada Mas Yoyok – my dear brother. Duh, sudah jadi bapak dia. Dan ucapan selamat teriring do’a buat Gadiz gue ucapkan. Habis itu telepon ditutup. 


Siangnya di kantor si ayah SMS. “Tante Meli dan Tante Risa (adik gue) ponakan sudah lahir tuch (ayah kayaknya nggak tahu kalau gue ditelpon sama ibu) sudah SMS lom ke mas Yo…”. Dari nada sms-nya, ayah pasti sedang senang.


Malamnya, ibu pulang dari Labuan – Gadiz lahir di kampung halaman ibunya di Labuan. Dia langsung bercerita panjang lebar. “Mbak Novi nggak jadi di vakum. Lahirnya normal,” jelasnya sambil menambahkan info detail soal persalinan kakak iparku. 


“Gadiz cantiiik sekali. Waktu lahir kulitnya bersih sekali. Lebih mirip Mas (Yoyok), tapi hidungnya pesek seperti ibunya,” tutur ibu. Nggak berapa lama omongannya terpotong karena telpon dari si ayah. Telponnya? Ngomongin Gadiz lagi.


Sampai gue tertidur hari itu, yang jadi bahan omongan orang rumah cuma Gadiz. Jadi penasaran melihat wajahnya. Oh ya nama lengkapnya Gadiza Nur Fauziah Basnaf. Welcome, niece :-)

Tentang Undangan

Dua tahun terakhir, gue lumayan akrab sama yang namanya undangan pernikahan. Sampai pertengahan bulan Januari ini saja, misalnya, gue sudah menghadiri dua dari empat undangan pernikahan. Dari keempatnya, dua diantaranya ada undangannya. Atas nama ayah, sih, jadi adiknya eyang dan tante tetangga rumah itu mengirimkan undangan.

Dulu, tanda kita diundang ke suatu acara adalah menerima undangannya. Biasanya dikirim lewat pos. Tapi sekarang jaman sudah beda. Tempo hari itu, teman gue yang satu ngundang via SMS, sementara yang lain ngundang lewat milis. Kalau dipikir-pikir kayaknya lebih banyak undangan pernikahan yang gue terima lewat SMS, milis, atau dari mulut ke mulut.

“Mel, datang yah ke resepsi pernikahan kami hari A di B jam C, ditunggu kedatangannya, anu dan anu,” begitu petikan salah satu undangan pernikahan yang gue terima via SMS.

Kalau dari milis atau e-mail biasanya scan-an undangan sebenernya. Kadang sampai sama foto-foto yang ada di undangan (kalau ada) dan denah lokasi resepsi (ini biasanya selalu ada). Kalau yang ngundang nggak mau ribet, isinya, ya, sama saja kayak ngundang lewat SMS.

Dengan modal diundang via SMS atau e-mail, sudah sering banget gue datang ke pernikahan teman. Nah, yang repot kalau undangan pernikahannya dari mulut orang ketiga. “Mel, si A nikah lho besok di B jam C, datang aja.” Wah, kalau undangan model begini, kadang sering gue ragu datang. Takut aslinya nggak diundang, sih. Tapi pernah juga sih dengan modal cuek datang, soalnya teman yang ngasih tau memberi embel-embel “undangannya ada di gue.”

Kalau nggak salah ingat, tiga kali gue dapat undangan pernikahan via “pos”. Posnya gue kutip karena undangan yang semestinya dikirim lewat pos itu malah gue terima langsung dari tangan yang ngundang he he he. Anyway, salah satu undangan itu adalah yang terunik yang pernah gue lihat.

Jadi undangannya dimasukan dalam kotak berbentuk elips yang dibuat bahan yang disulam. Beberapa lembar kertas menjelaskan waktu dan tempat resepsi. Elips itu dimasukkan lagi ke dalam kantong yang juga disulam. Di depannya ada inisial nama pengantinnya. Untuk alamat disisipkan di bagian tali penutup kantong.

Undangan pernikahan itu begitu cantik. Dan menggambarkan pengantin perempuannya yang memang orang Jawa yang halus perilakunya. Ibuku, yang memang pengoleksi undangan pernikahan itu he he he, gembira banget waktu dikasih lihat.

Eh, tapi undangan dari dua teman gue yang lain juga unik, lho. Yang satu uniknya karena cuma selembar tanpa amplop pula. Praktis. Sesuai sama karakter pengantin perempuannya.

Nah, yang satu lagi uniknya karena ada kalendernya! Katanya si pengantin perempuan, “Biar nggak langsung dibuang, Mel, kan masih bermanfaat tuh kalendernya.” Maksudnya mungkin biar kita ingat terus sama dia. Memang cocok sama dia yang senang berteman bahkan masih awet sama teman-teman SD-nya.

Terlepas dari unik enggaknya, mewah enggaknya dan lewat apapun medianya, yang namanya undangan itu menurut gue adalah amanah. Benar kata ibuku, sebisa mungkin datanglah karena artinya kita menghormati si pengundang. 

Bulan depan siapa lagi, ya, yang mau ngasih undangan?

Monday, January 15, 2007

Bye, Becks

Gara-gara punya klub favorit Real Madrid, banyak teman mengira gue doyan karena memfavoritkan David Beckham. Padahal, sori aja, gue udah doyan Madrid jauh sebelum Becks ke sana. Bahkan, boleh percaya boleh nggak, Becks itu sebetulnya salah satu pemain bola paling gue sebelin sepanjang masa.

Mangkanya tiga tahun lalu gue sempet terkaget-kaget waktu tahu dia pindah ke Madrid. Kok bisa, sih? Walau lumayan signifikan juga perannya buat Madrid selama tiga musim terakhir, tapi, tetep, gue menganggap dia adalah pembawa sial. Abis sejak dia datang nggak ada gelar yang mampir ke lemari tropi di Santiago Bernabeu.

Setelah tiga musim mencoba menerima kehadiran Becks, akhirnya gue lega. He finnally move. To America. Fuih, semestinya gue tahu kalau waktu main di Madrid pun motivasi dia adalah popularitas. Uang. Soalnya dari sejak main di Real, pendapatannya yang diterimanya makin gede aja -- walau dalam daftar pemain bola terkaya di dunia dia cuma nomor dua setelah Ronaldinho.

Yang lebih melegakan lagi sebetulnya karena kepergiannya makin menegaskan habisnya Los Galacticos. Geez, gue nggak pernah suka sebutan itu karena mengingatkan sama kebijakan transfer pemain mega bintang yang malahan bikin Madrid rusak. Sekarang, tinggal Ronaldo aja nih yang perlu didepak.

Dan Madrid akan kembali seperti pertengahan 1990-an yang nggak punya mega bintang. Ruud Van Nistelrooy dan Fabio Cannavaro? Kita tunggu aja berapa lama mereka berdua tahan. Menurut gue, Canna bakal semusim aja di Real. Musim depan balik deh dia ke Italia. Sementara Ruudtje mungkin bisa dua atau tiga musim.

Anyway thanks Becks for the decision. No thanks for three-painful-season. But, good luck in America!

Thursday, January 4, 2007

4 Hari 3 Provinsi

Akhir tahun 2006 menjadi akhir tahun paling melelahkan dalam tiga tahun terakhir ini. Gimana enggak? Nih, perbandingannya.

Tahun 2005 akhir tahun gue habiskan di Anyer. Pergi tanggal 31 Desember siang, dan pulang tanggal 1 Januari malam. Tahun 2004, bahkan lebih singkat lagi. Ketika itu gue mengakhiri tahun di Masjid At-tin dengan mengikuti zikir akbarnya Ustad Ilham Arifin. Dari rumah habis Magrib tanggal 31 Desember dan pulang tanggal 1 Januari dini hari. Nah, akhir tahun 2006 sudah gue mulai tanggal 29 Desember. Yang lebih seru lagi, acara akhir tahun selama empat hari itu gue habiskan di tiga provinsi!

Gara-garanya adalah gagalnya rencana gue dan enam teman-teman RTC bertahun baru di Gunung Bromo karena pertimbangan cuaca. Tetapi karena kami sudah keburu membeli tiket Air Asia Jkt-Sby-Jkt sejak tiga bulan yang lalu putar otaklah kami mencari tujuan liburan pengganti yang relatif dekat dari Sby. Setelah mempertimbangkan beberapa alternatif dipilihlah Yogyakarta.

Kalau ngliat peta, bisa kebayang ribetnya perjalanan kami. Tanggal 29 Desember siang berangkat dari Soekarno Hatta. Nyampe sore sekitar jam 14.00 di Juanda. Karena sudah di-booking-kan tiket Sby-Bandung via Yogya pukul 16.00, kami langsung menuju Stasiun Kereta Gubeng. Dua jam di Sby, enam jam kami habiskan di atas kereta Sancaka. Sampai di Stasiun Kereta Tugu jam 22.00, artinya dalam tempo kurang dari 24 jam gue sudah melewatkan hari di empat provinsi (Jkt, Jatim, Jateng, Yogyakarta)! Nggak heran begitu nyampe di penginapan di daerah Tirtodipuran, badan sudah lemes. Gudeg murah meriah pun mengisi perut teman-teman sementara gue mengisinya dengan segelas wedang hangat yang rasanya semirip kuah sekoteng. Segar!

Hari kedua nggak kalah luar biasa dibandingkan hari pertama. Yogyakarta hari itu diguyur hujan hampir seharian. Tapi dasar sudah berniat, Candi Borobudur pun dipilih sebagai tujuan wisata hari itu. Kalau ngliat peta Borobudur itu letaknya di Magelang, yang sudah masuk Provinsi Jateng. Biar kata beda provinsi tapi kami cuma menempuh perjalanan kurang lebih satu jam saja dari penginapan. Tapi pas nyampe Borobudur, hujan masih turun lumayan deras. Alhasil sambil berbasah-basah, kami melihat-lihat satu dari tujuh keajaiban dunia itu.

Walau tidak maksimal gue cukup terpesona melihat maha karya manusia nenek moyang bangsa Jawa itu. Kalau gue pernah bilang Angkor Wat di Kamboja is ‘Huge’, Borobudur juga nggak kalah besar walau lebih cocok dibilang ‘Big’ saja. Tapi dibandingkan Angkor, Borobudur jauh lebih cantik. Di dinding bangunan ini terdapat relief-relief yang bercerita (sayang kita nggak nyewa guide jadi nggak tahu yang terpahat di dinding-dinding candi). Udah gitu ada banyak sekali stupa dengan berbagai ukuran. Sayang waktu itu hujan. Andai terang, seluruh sudut Borobudur pasti sudah kami eksplorasi he he he.

Hari ketiga lagi-lagi kami mengunjungi candi. Kali ini ke Prambanan, yang masih termasuk provinsi Yogyakarta. Prambanan tidak semegah Borobudur. Udah gitu karena itu candi Hindu bangunannya menurut gue juga tidak terlalu cantik. Apalagi gara-gara gempa tahun lalu, beberapa bagian rusak berat. Di luar candi utama, terdapat reruntuhan yang dibiarkan begitu saja. Sementara bagian dalam kompleks candi utama tidak bisa dimasuki karena masih dalam perbaikan.

Walaupun begitu, Prambanan menurut gue punya kemasan lebih menarik. Sebelum masuk kompleks candi mata kami disuguhi dengan pemandangan taman dan kolam yang cantik. Udah gitu kami nggak perlu khawatir kebecekan karena sepanjang jalan sudah berlantai batu. Prambanan setahu gue juga lebih sering mengadakan kegiatan budaya. Waktu gue dan teman-teman datang ke sana, sedang ada pameran dan panggung hiburan yang diadakan klub pemilik VW Indonesia (kayaknya). Gue juga sempat ngliat baliho besar yang mengumumkan pagelaran Sendratari Ramayana.

Habis dari Prambanan, kami ke Parangtritis. Pantai yang satu ini tidak banyak berubah dari terakhir gue datangi. Bedanya waktu itu cuaca lagi bersahabat hingga gue dan teman-teman kantor Detik Jogja bisa mendekat ke pinggir pantai. Nah, waktu ke sana sama teman-teman hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Ombaknya tinggi banget, dan angin pun berhembus kencang. Nggak sampai satu jam badan sudah kedinginan dan lengket karena pasir pantai.

Puas ke candi dan pantai, malamnya kami memutuskan menghabiskan di kota saja. First stop ke Galeria Mall karena ada yang mau beli perak di surabaya Silver. Habis itu makan malam di Gajah Wong yang maha ramai. Asyiknya sudah disuguhi makanan enak berporsi besar, suasana nyaman bernuansa pedesaan, nggak perlu ngeluarin duit pulak karena ditraktir! Thanks a bunch, Ikhwan =)

Udah kenyang, namun malam masih panjang. Akhirnya kami memutuskan berkaraoke he he he. pergantian tahun pun kami lewati di karaoke tanpa terompet (walau dapat dari Gajah Wong) dan tanpa kemeriahan kecuali kemeriahan suara teman-teman yang lagi nyenyong nggak merdu.

Tiga malam di Yogyakarta, kami harus melakukan perjalanan seperti hari pertama lagi keesokan harinya. Bedanya kalau waktu itu pakai kereta, balik ke Sby-nya kami menggunakan mobil travel. Lebih enak karena kita bisa berhenti kapan aja dan bisa ngobrol tanpa khawatir diawasi orang lain. But then we did it again. Melewati tiga provinsi (Yogyakarta, Jateng, Jatim) dan entah berapa kota.

Oh ya, waktu singgah makan siang di Mojokerto gue dan teman-teman melihat pemandangan unik. Lagi ada parade drum band anak TK di sebuah jalan raya kota. Gue baru inget pas ngliat Metro TV malam ini. Wah, kecil-kecil udah masup teve. Jadi inget masa-masa ber-drum band ria di SMA. Sama-sama panas-panasan he he he.

Tapi nggak kayak hari pertama, begitu sampai di Sby sekitar pukul 14.00 kami berkesempatan untuk mengunjungi satu ‘objek wisata’ yaitu Museum Sampoerna. Berkah di balik delay empat jam Air Asia, nih, karena museum itu cukup berkesan. Andai semua museum di Indo dibikin menarik kayak gitu, pasti lebih banyak orang tua yang nggak segan mengajak anaknya pergi ke museum.

Finally, sekitar jam 21.00 pesawat kami bertolak dari Juanda. Satu setengah jam di udara, yang bikin gue deg-degan melulu entah kenapa, jam 22.30 kami sampai lagi di Jakarta. Eh, kalau dipikir-dipikir karena gue pulang ke Pondok Gede di Bekasi (Jabar) artinya lima provinsi dong yang gue lewati sepanjang akhir tahun kemarin! Weleh-weleh.

Indahnya Ayat-Ayat Cinta

Seperti halnya genre film, gue juga punya genre buku favorit. Chicklit alias bacaan cewek favorit gue. Sejak tahun 2004 ada lebih 20 chicklit yang gue koleksi. Sementara kalau baca doang lebih banyak karena gue suka pinjem dari Wulan atau teman yang suka chicklit juga.


Tapi entah kenapa waktu sedang mencari buku di toko Gunung Agung pada suatu hari, mata gue tertumbuk ke buku dengan judul Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dari beberapa komentar tentang buku tersebut ketauan kalau genrenya sastra Islami. Genre yang jarang banget gue sentuh apalagi gue baca. Tapi komentar-komentarnya dahsyat dan itu adalah best seller yang udah memasuki cetakan ke XVIII!


Walau gue udah telat dua tahun (karena cetakan pertamanya keluar tahun 2004), setidaknya gue pernah tahu ada buku sastra Islami yang bisa gue  baca sampai habis. Pilihan gue nggak salah karena buku itu jauh lebih bagus dari yang gue bayangkan sebelumnya.


Hal pertama yang membuat gue senang membaca buku itu adalah setting Mesir yang diangkat penulis. Gue sering baca buku bersetting di Inggris, Amerika, Prancis, Jepang, dsb namun baru kali ini gue baca buku bersetting Mesir utamanya di Cairo. Udah gitu El Shirazy juga mampu menggambarkan kondisi kota dengan detail, termasuk menceritakan budaya orang Mesir dengan jelas. Gue merasa ada di Cairo beneran saat membaca lembar demi lembar buku itu. Dan gue percaya Cairo, di luar cuacanya yang panas bener, adalah kota yang cantik dan harus gue kunjungi suatu saat nanti.


Kedua, sesuai genre-nya, buku ini Islami bener. Gue merasa pengetahuan gue soal Islam bertambah setiap membaca lembar demi lembarnya. Yang paling berkesan ada di bab terakhir buku, saat maut mau menjemput Maria. Di situ El Shirazy dengan lugas menggambarkan orang saleh yang sedang menghadapi sakaratul maut. Walau gue yakin dia belum pernah dalam kondisi itu, tapi dia mengutip kitab Imam Syamsudin Al Qurthubi yang mendeskripsikan surga hingga membuat orang awam seperti gue tergugah. Luar biasa.


Layaknya membaca skripsi, El Shirazy banyak menggunakan referensi tulisan orang lain. Sesuatu yang jarang buanget gue temui dalam penulisan buku non-fiksi apalagi yang populer. Walau hanya sebaris kalimat, sebuah kutipan pasti dia jelaskan asal-usulnya.


Walau isinya sangat Islami, banyak kalimat indah yang membuat buku ini dikategorikan novel percintaan bahkan novel asmara kalau kata Hadi Susanto dalam prolognya. Dan gue sepakat dengan pemerhati sastra dan kandidat doktor dari sebuah universitas di Belanda itu. Kenapa? Karena El Shirazy juga menganut satu prinsip soal cinta: bahwa cinta nggak bisa menunggu.


Kelebihan lain adalah penggunaan dua bahasa, bahkan kadang empat bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Jerman di buku ini. Benar-benar menambah pengetahuan. Namun, soal bahasa, ada kekurangan yang mengganggu. Gue sampai tertawa geli waktu dia menulis kalimat happy birthday menjadi happy bird day! he he he. Memang tidak ada manusia yang sempurna.


Anyway dari banyak buku yang pernah gue baca, Ayat-Ayat Cinta langsung termasuk dalam buku favorit gue. Dan seperti halnya Sophie Kinsella, Icha Rahmanti dan Takashi Matsuoka, El Shirazy sekarang menjadi penulis favorit gue. I’m glad that i found this book.