Skip to main content

Cerita Pulang Kampung

Saya sudah lupa terakhir kali menjejakkan kaki di tanah kelahiran saya, Pontianak. Mungkin sudah lebih dari 20 tahun. Nggak heran saya cukup terkejut melihat banyak sekali perubahan yang telah terjadi.

Saya dan ibu tiba di bandar udara Supadio, Rabu (1/7/2010), sekitar pukul 07.30 WIB. Kami dijemput oom Gugus dan si sepupu kecil tapi gendut, Tiwi. Sambil ngobrol di dalam mobil, saya minta diantarkan ke warung makan untuk sarapan. Oom pun mengantar ke warung makan langganannya yang menjual empal gentong khas Cirebon (yeah, sarapan di Pontianak ala Cirebon) di Pasar Seruni. Empal gentong dan lontongnya lumayan, apalagi untuk sekedar mengganjal perut. Apalagi ditambah segelas es lidah buaya hasil nyomot pesanan ibu (nasib sedang flu). Yum!

Setelah sarapan dan menaruh tas dan koper di rumah oom, saya mengajak sepupu yang saya temui di rumah eyang, Dwi, untuk jalan-jalan. Memang rasanya badan ini enggan melewatkan hari libur hanya di rumah oom. Tumben, ibuku tertarik untuk ikut ngiderin kota. Tapi karena terlanjur cuma minjam motor, kami berkonvoi menggunakan dua motor yang dikendarai Dwi dan Oom Bowo (ini oom yang lain, oom saya di PTK banyakk!).

Perahu. Alat transportasi utama di Sungai Kapuas 

First stop, Istana Kadriah. Istana ini sebetulnya masih terawat, sayang pengemasannya masih kurang menarik. Contoh: banyak rumah kumuh di jalan akses yang mengganggu pemandangan. Istana ini kering tanpa taman. Tak banyak peninggalan sejarah yang bisa dilihat. Cuma ada dua ruangan (semacam ruang aksesoris dan ruang tidur) serta satu aula besar yang menyimpan singgasana. Yang juga cukup mengganggu adalah banyak pengemis di pintu masuk. Tampaknya ini jadi PR buat dinas pariwisata setempat. Apalagi, hasil ngobrol-ngobrol sama tante Ina, orang Pontianak pun enggan datang.

Saya dan Tiwi di depan singgasana Sultan Kadriah

Setelah dari Kadriah, kami menuju Tugu Khatulistiwa. Di tengah jalan baru mulai muncul penyesalan, kenapa tadi pagi saya memilih berjalan-jalan memakai motor. Teriknya matahari bikin kepala panas walaupun sudah memakai helm. Padahal masih sekitar pukul 10.00 pagi lho. Dan udaranya itu, panaaaaasss! Untung PTK tidak semacet Jakarta sehingga dalam tempo kurang dari setengah jam kita sudah sampai di lokasi Tugu Khatulistiwa.

(ki-ka) Dwi, Tiwi, oom Bowo di depan Tugu Khatulistiwa yang asli

Tugu ini adalah satu-satunya obyek wisata yang saya ingat di Pontianak. Sekarang tugu ini dilengkapi bangunan yang difungsikan untuk melindungi tugu asli yang dibangun tahun 1928. Jadi yang terlihat di luar adalah duplikat tugu yang dibuat lebih besar lima kali dari yang asli. Selain ada tugu yang asli di dalam bangunan juga bisa dilihat sejarah tugu dan beberapa penjelasan tentang gravitasi bumi. Tugu Khatulistiwa tampaknya masih menjadi obyek wisata andalan, karena saat kami datang ada beberapa turis yang kalau sepertinya datang dari luar Kalimantan. 

Karena sudah kepanasan, kami memutuskan untuk menuju mall. Mau makan siang sekaligus ngadem. Supaya  lebih cepat sampai, kami pun 'memotong jalan' dengan menyebrang sungai menggunakan kapal ferry Jembatan Kapuas. Dengan tarif Rp 7.500 per kendaraan (roda dua), cuma lima menit sampai di pusat kota dan nggak berapa lama sampai di Mega Mall Ayani.

Ayani tidak berbeda dengan mall-mall yang tersebar di Jakarta. Sekelas Pejaten Village, deh. Di sana kami memutuskan makan di Pondok Ale Ale, yang speciality-nya seafood. Ikan kakapnya enak, cah kangkungnya lumayan dan ayam bakarnya cukup. Cuma agak menyesal karena tidak memesan Ale Ale alias kerang. Dari Ayani kami pulang kembali ke rumah oom Gugus. Jalan-jalan akan dilanjutkan malam hari dan keesokan harinya.

Kwetiau goreng dan jeruk kecil hangat. Rasanya jeruk kecil kayak jeruk buat masak. Asem2 gimana gitu

Malamnya, kami diajak Oom Gugus dan keluarganya keliling PTK. Menengok Jl. Gajah Mada yang tersohor sebagai pusat kuliner, Jl. Pattimura yang dikenal sebagai pusat suvenir dan oleh-oleh, Taman Kapuas terus ke selatan yang banyak klenteng. Makan malamnya di kwetiau langganan oom di Jl. Tanjungpura. Di sini, saya baru tahu ada beda pesan es jeruk besar dengan jeruk kecil. Cobain deh kalau ke PTK!

Keesokan harinya giliran kami berkunjung ke museum. Museum Kalimantan Barat terletak di pusat kota dan gampang sekali dicari. Secara umum, saya menilai museum ini cukup menarik karena banyak menampilkan ragam seni, tradisi dan budaya yang tumbuh di Kalimantan Barat.

Ibu dan barongsai di Musem Kalbar

Setelah itu kami berkunjung ke kelenteng yang kami lihat tadi malam dan setelah itu menuju Pondok Kakap untuk makan siang. Secara rasa, makanan yang disuguhkan lumayan. Jangan lupa memesan Kepiting Asap dan Udang Goreng Mayonaise Keju kalau mampir ke sini. Yum!


Ibu di depan patung bhiksu gendut. Matching nggak? :D

Malam harinya, saya diajak Tante Ina makan malam di Rumah Makan Melayu di bilangan Jl. Pahlawan. Speciality rumah makan ini adalah Sop Kikil yang rasanya enaaaak! Itu mungkin sop kikil terenak yang pernah saya rasakan :D

Kunjungan pertama ke Pontianak setelah bertahun-tahun tentu saja tidak akan pernah saya lupakan. Sambil membawa lempo, jajanan olahan lidah buaya, amplang, bingke dan cerita tentang sanak saudara, saya pulang ke Jakarta pada Sabtu (3/7/2010) pagi. I'll be back, Pontianak :)

Comments

Popular posts from this blog

Batik Is All Around

Hari Jum'at ini nggak biasa bagi beberapa orang teman gue. Dan semua berhubungan dengan batik. Kemarin malam, seorang teman bela-belain minjem baju batik ke teman yang lain karena batik miliknya sobek. Padahal dari hari sebelumnya batik itu disiapkan untuk hari ini. Yang lain, berusaha matching dengan batik motif Pekalongannya dengan memakai boxer bercorak batik! (no kidding :p) Yang lain, ada yang pasang status YM "silahkan masuk, pengantennya di dalem". Alasannya nggak lain karena seisi ruangan seakan kompak berbatik rapi seperti orang mau kondangan :D. Tadi pagi, seseorang SMS gue dan mengingatkan "jangan lupa pakai batik ya hari ini." Ada banyak teman gue hari ini yang rela berbatik walau biasanya paling enggan berbaju rapi. Demi hari ini, banyak yang rela menanggalkan pakaian kebesarannya ke kantor (baca: jeans dan t-shirt). Ada apa sih? Nggak lain karena hari ini, 2 Oktober 2009, batik akan dikukuhkan sebagai warisan budaya asal Indonesia. Sebelumnya, Pres

Does Money Really Matters?

Pertanyaan ini pop-up di kepala gue setelah nonton film JIFFEST yang judulnya ‘machuca’… jadi ni film bercerita soal persahabatan dua pemuda berbeda kelas… si daniel (sebut saja begitu karena gue lupa namanya =D) yang anak pengusaha kaya dengan pedro machuca si miskin anak tukang cuci… karena bersetting di santiago, chili, sekitar tahun 1960-an film ini nampilin perbedaan kelas yang sangat ekstrem, bahkan partai politik pun berafiliasi dengan kelas.. klo pilih partai A berarti kaum borjuis (orang kaya-maksudnya) sementara kalo pilih partai B berarti pro orang miskin… dan anak2 12 tahun seumuran pedro dan daniel udah tau itu sejak usia dini… mereka sempat nyuekin (si daniel main bareng di tepi sungai perumahan kumuh sementara pedro nyoba sepeda dan sepatu keds merk adidas yang sangat langka punya daniel) tapi keadaan mengalahkan persahabatan mereka… adegan paling ngenes terjadi menjelang akhir film…. waktu daniel ngdatengin perumahan kumuh tempat pedro tinggal, kebetulan lagi ada

Kala Hati Terketuk Si Pemilik Senyum Manis Berkerudung Merah

Pengalaman sebagai petugas haji tahun 2023 adalah pengalaman yang tak terbayangkan sebelumnya. Bahkan, ketika saya sudah menyesuaikan ekspektasi dari pengalaman rekan-rekan petugas haji dari instansi saya sebelumnya, realita tahun ini sungguh sangat berbeda. Baik secara fisik maupun spiritual. Salah satu pengalaman spiritual yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya itu hadir dari pemilik senyum manis berkerudung merah. Yang membedakan pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya tentunya adalah tagline #HajiRamahLansia yang berlaku tahun ini. Tagline ini sudah jauh hari diberitahukan, sejak hari pertama bimbingan teknis yang saya ikuti secara hibrid: daring dan tatap-muka. Sejak hari pertama menjejakkan kaki di Makkahpun, tagline itu menjadi tak sekedar teori melainkan praktik. Kata melayani saya terjemahkan menjadi siap menomorsatukan kepentingan lansia yang ditemui selama musim haji 1444 Hijriah. 50 hari di Arab Saudi, saya merasa mendapatkan 1.000 pengalaman berharga. Tidak hanya dari se